Oleh : Uwin Mokodongan
Seandainya Mariyuana dilegalkan, dan orang-orang gembira dalam hidupnya; bahagia, merdeka, sentosa serta mulia, sembari tetap menjaga kewarasan sebagai manusia yang memiliki adab dan selayaknya memanusiakan manusia, maka adakah angka kejahatan di atas muka bumi ini sirna? atau lambat laun mengalami penurunan?
Seandainya juga pada malam naas itu Zay (14) dan Ipal (24) mabuk Mushroom yang dikocok bersama telur ayam lalu didadar, hingga menyebabkan kedua pemuda ini lebih riang ketawa-ketiwi penuh girang, mungkin mereka lebih memilih enak berselonjor di pasir pantai Bolmut tanpa harus ugal-ugalan balapan liar. Atau Aiptu Joko Suswanto yang tengah menjalankan tugasnya meminta dengan penuh kelembutan agar tak ada balapan liar di jalan raya, mungkinkah peristiwa naas itu tidak terjadi?
Ah, serentetan perdebatan panjang yang membutuhkan waktu lama dan nyaris tak berujung serta membelah manusia minimal terbagi dalam dua kelompok pasti akan terhampar seperti sebuah “keributan massal” sebagai konsekuensi atas perkara yang disoal.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Apa yang dialami Aiptu Joko Suswanto adalah tragedi mengenaskan yang tak hanya mengguncang keluarganya di rumah melainkan juga korps kepolisian dan kita yang masih memiliki semangat dan harapan agar; hukum harus ditegakkan.
Bayangkan, seorang polisi yang tengah menjalankan tugas, tewas ditikam pemuda tanggung yang diduga mabuk alkohol hanya karena persoalan sepele. Kita tentu mengutuk peristiwa itu. Rasa kemanusiaan kita pasti ikut terguncang dan sepakat agar pelakunya dihukum berat sesuai undang-undang yang berlaku. Dan polisi yang menjadi korban ketika sedang menjalankan tugasnya, layaklah ia mendapat apresiasi.
Tetapi mari kita tinggalkan sejenak dulu itu kemudian melompat sebentar ke peristiwa yang kita simak melalui pemberitaan beragam media massa di Sulut, serta informasi tambahan berbagai versi yang kita dapat dari kecepatan kabar mulut ke mulut dan data-data mentah yang meruyak cepat di media jejaring sosial.
Minggu 4 Januari 2014, kita mengetahui kabar miris ketika dua orang bocah–sebagaimana dikabarkan ragam media–menemukan sesosok mayat tergeletak di belakang Rumah Makan Tepi Laut di Bolmut. Mayat itu diketahui adalah Joko Suswanto, seorang polisi berpangkat Aiptu yang kesehariannya bertugas di Polsek Kaidipang Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) sebagai Kanit Lantas.
Ia ditikam seorang pemuda bernama Ipal memakai pisau dan kena di bagian dada. Rangkaian informasi terkait kejadian tersebut dapat pembaca ikuti kembali dengan mengunjungi :
https://beritatotabuan.com/node/berita-hukum/
***
Hanya butuh waktu beberapa jam, polisi berhasil membongkar misteri siapa pelaku pembunuhan tersebut. Mereka merujuk pada Zay Djiko (ZD) alias Zay alias Inal umur 14 tahun dan Rival Djiko (RD) alias Ipal, umur 24 tahun. Kedua kakak beradik ini berhasil dibekuk dirumah mereka dan segera digelandang ke Polsek Kaidipang untuk diperiksa.
Tak ada bantahan dari tersangka yang mengakui perbuatannya. Di tulis juga oleh Harian Media Sulut edisi Selasa 6 Januari 2015, terkait kronologis kejadian yang pada pokoknya menuliskan bahwa: Aiptu Joko melarang Zay yang ugal-ugalan mengendarai motor. Konon terjadi penamparan terhadap Zay yang hendak ikut balapan liar karena dirinya melawan saat ditegur Aiptu Joko Suswanto.
Tak terima dirinya ditampar, Zay lantas pulang ke rumah dan mengadu kepada kakaknya bernama Ipal. Keduanya lantas kembali ke jalan mencari Aiptu Joko Suswanto. Sempat terjadi adu mulut sebelum akhirnya Ipal secara tiba-tiba menancapkan pisaunya ke dada sang polisi hingga akhirnya tumbang dan berujung tewas.
Zay dan Ipal berhasil ditangkap keesokan harinya. Setelah ditahan di Polsek Kaidipang, kedua tersangka lantas kembali digelandang menuju Polres Bolmong. Dan dari sinilah dimulai kegemparan baru.
Entah bermula dari mana, Senin 5 Januari 2015, foto Ipal dan Zay tersiar. Kedua kakak-beradik ini tergeletak di atas lantai sel tahanan Polres Bolmong dalam keadaan memiriskan. Selain babak belur dan penuh berlumuran darah, Ipal terlihat tinggal memakai celana dalam begitupun adiknya Zay yang tinggal bercelana pendek tanpa ada baju membungkus tubuh mungil kedua tersangka.
Selanjutnya tersiar kabar heboh; Ipal, salah seorang tersangka pelaku pembunuhan terhadap Aiptu Joko Suswanto, tewas di dalam sel tahanan Polres Bolmong.
MENJAGA KEWARASAN
Dugaan terkait tewasnya Ipal dari dalam sel tahanan Polres Bolmong tentu mengusik kewarasan kita selaku manusia yang memiliki tingkat kesadaran normal. Terlebih penyebab kematiannya sampai saat ini masih misterius sekalipun melalui pemberitaan media kita menemukan banyak informasi dan keterangan yang telah disajikan berdasarkan sederet investigasi dan keterangan yang diperoleh para pewarta di lapangan. Belum lagi ketika kita mengunyah informasi lain yang cepat meruyak terutama di media jejaring sosial dan kabar “para mata-mata” dari mulut ke mulut hingga masuk ke telinga kita.
Bagi siapa saja yang pernah merasakan bagaimana brengseknya menginap di sel tahanan Polsek maupun Polres, atau bagaimana getirnya hidup di Rutan dan betapa jahanamnya menjadi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, pasti mudah mengambil kesimpulan terkait apa yang menimpa Ipal sekalipun kesimpulan itu bernada spekulasi dan debatable.
Tapi bagi yang tidak pernah berurusan dengan polisi, terlebih yang tak pernah merasakan–sehingga tak memiliki gambaran–bagaimana tengiknya nasib ketika dijebloskan ke dalam sel tahanan sekalipun kasus yang dilanggar cuma mencuri mainan congklak tetangga, maka percayalah, sekalipun Anda khatam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) beserta turunan dan anak pinaknya termasuk menguasai ribuan halaman buku dan literatur hukum, hal itu sama sekali tak memberi gambaran secuilpun soal kenyataan dan kemungkinan-kemungkinan apa yang dapat terjadi di balik jeruji besi.
Tetapi sebagai latihan untuk menjaga agar diri kita tetap dalam keadaan waras terkait apa yang dialami Ipal, maka :
- Percayalah bahwa di dalam sel Polsek, Polres, Rutan, maupun Lapas, tak ada genderuwo atau mahluk gaib menyeramkan yang digambarkan memiliki kuku-kuku tajam semacam kata Trans 7 lewat program tengah malam berjudul Masih Dunia Lain. Jangan pula percaya bahwa dalam sel ada arwah gentayangan yang bertugas menantikan setiap penghuni baru masuk untuk kemudian dibunuh tersebab kasus atau tindak pidana yang dilakukan.
Kesimpulannya : Ipal tidak mungkin tewas karena disiksa genderuwo atau arwah gentayangan yang menjadi penunggu sel.
- Di dalam sel, jangankan merokok, minum air dan makan sesuka hati tak akan dilarang. Sama halnya dengan kita bebas untuk mandi, berak, gosok gigi, dan tidur di tempat yang terjaga dari dingin dan lembab.
Kesimpulannya : Ipal tidak mungkin tewas karena dehidrasi atau kekurangan cairan diakibatkan tidak tersedianya air minum dalam sel tahanan. Tidak mungkin juga ia mati kelaparan karena setiap orang yang ditahan, akan diberi makan oleh negara melalui institusi yang melakukan penahanan dalam hal ini pihak kepolisian. Kecuali jika ada kesengajaan secara terstruktur dan sistematis dimana Ipal sengaja tidak diberi makan dan tidak diberi minum.
- Dalam sel, kita tidak dilarang memakai baju atau bahan penghangat tubuh. Jika kita hanya memakai celana dalam, tentu selain kedinginan, tubuh kita akan direcoki nyamuk. Jika tetap bersikukuh hanya memakai celana dalam, maka kita hanya akan jadi bahan olok-olok sesama penghuni sel atau membuat senang penghuni yang kebetulan memiliki orientasi seksual sesama jenis.
Kesimpulannya : Ipal tidak mungkin tewas gara-gara tidur diatas ubin tanpa mengenakan baju atau cumak memakai celana dalam. Terlebih lagi setengah jam sebelum tiba-tiba ia tidak bergerak lagi, ia sempat berkali-kali memohon diberi air minum.
- Jika kita berbuat gaduh dalam sel seperti membentur-benturkan kepala ke tembok, maka kita akan diamankan oleh sesama penghuni sel. Jika sesama penghuni sel tak kuat mendiamkan kita maka, petugas atau piket yang bertugas 1 x 24 jam nonstop akan bergerak mengamankan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi sesuatu di dalam sel semisal kasus bunuh diri karena apa yang terjadi terhadap penghuni sel menjadi tanggung jawab petugas atau institusi yang melakukan penahanan.
Kesimpulan : Ipal tidak akan memiliki banyak kesempatan untuk membentur-benturkan kepalanya ke tembok sampai kepalanya yang sekeras batu itu akan pecah dan terbelah sebab tindakan itu akan dillerai sesama penghuni sel. Jikapun tidak, maka petugas piketlah yang akan masuk dan mendiamkannya. Perlu pula diketahui bahwa sel bukan kurungan atau kandang anjing yang hanya dikelola asal-asalan. Setiap sel dikelola, dipantau, dan diawasi secara khusus berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan. Biasanya dipimpin oleh aparat yang berpangkat lebih tinggi.
- Tetapi ada kemungkinan Ipal tewas karena ia mencoba untuk menahan nafas. Alasan ini jelas ngaco. Sehingga kesimpulannya : seiseng-isengnya orang, bunuh diri dengan cara menahan nafas terbukti tidak efektif dan kemungkinan hanya guyonan antar penghuni sel yang galau.
- Di dalam sel ada kemungkinan sesama tahanan terlibat perkelahian hingga berujung bunuh-membunuh.
Kesimpulannya : Investigasi untuk ini mudah. Tinggal temui sesama tahanan dan tanyai apa betul ada tahanan yang membunuh Ipal?
- Anda pernah nonton film Chucky? Nah, untuk menjaga agar otak kita tetap dalam keadaan waras, maka percayalah: di dalam sel Polsek, Polres, Rutan, maupun Lapas, tak ada boneka pembunuh berkeliaran seperti Chucky yang tiba-tiba menyusup kedalam untuk melakukan aksi balas dendam.
Kesimpulannya : Kondisi babak belur dan segala luka yang diderita Ipal jelas bukan diakibatkan oleh kebrutalan seonggok boneka pembunuh seperti Chucky.
- Sebagaimana ditulis Harian Media Sulut Edisi Selasa 6 Januari 2015, sebelum meninggal dunia, tersangka Ipal sempat melontarkan permintaan terakhir ke Kapolres Bolmong AKBP Wiliam Simanjuntak SIK, sekitar pukul 09:25 WITA. Saat itu Kapolres membesuk kedua tahanan di sel Polres Bolmong sebelum berangkat ke Bolmut. Ipal yang diberitakan Media Sulut saat itu sudah dalam kondisi lemah dan bermandikan darah, memohon agar ia diberi air minum dan makanan kepada Kapolres yang saat itu terburu-buru karena hendak bersiap-siap menuju Bolmut. “Komandan minta aer kwa, aus skali kita”. rengek Ipal sebagaimana yang ditulis Media Sulut.
Kesimpulannya : Saat Kapolres membesuk Ipal (sekitar setengah jam sebelum kematiaannya) tentu Kapolres melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kondisi tersangka dalam sel tahanan: apakah dalam keadaan sekarat atau sehat walafiat tak kurang satu apapun. Ingat, kesehatan dan keselamatan penghuni sel tahanan adalah menjadi tanggung jawab institusi kepolisian selaku pelindung dan pengayom masyarakat. Jika yang terjadi adalah sebaliknya maka kewarasan kita akan mengatakan : sel polres adalah mesin pembunuh yang terstruktur dan sistematis. Maka celakalah bagi kita atau siapa saja yang akan berurusan dengan polisi dan masuk sel. Ada maut mengintai disitu.
- Siapa yang membuat Ipal sang tersangka pembunuh polisi tewas? Ada yang tahu?? Inilah misteri yang kini tengah melanda dan menguji kewarasan kita yang beberapa hari terakhir ini meluncur menyusuri setiap data, berita, dan untaian informasi terkait peristiwa berdarah sejak Aiptu Joko Suswanto tewas ditikam menyusul kemudian Ipal yang akhirnya ikut pula meregang nyawa dalam kondisi mengenaskan.
Siapa yang memukulinya? Siapa yang membuat tubuhnya luka berlumur darah? Siapa pula yang menembakinya? Harian Radar Bolmong Edisi 7 Januari 2015 memuat cerita Zay adik Ipal yang merengek dihadapan para pewarta dan keluarganya saat terbaring lemah di RSUD Date Binangkang.
Diceritakan Zay bahwa, sepanjang malam ia dan kakaknya dipukul oleh polisi. “Kita juga hanya diberi makan dua sendok. Bahkan untuk minum, kita hanya diberi penutup botol air mineral”. (Sebagaimana yang dikutip di Radar Bolmong).
Zay juga menceritakan, tak lama setelah ia dan kakaknya dipukul, Ipal tak lagi bergerak. “Melihat itu saya hanya bisa menangis. Tapi saat diberitahu anggota, mereka datang dan mengatakan kakak saya pura-pura mati”. Ungkap Zay kepada Radar Bolmong. Dilanjutkannya kembali bahwa ketika akhirnya kakaknya benar-benar diperiksa dan sudah meninggal, barulah anggota polisi mengangkat dan membawanya ke Rumah Sakit.
Sampai disini kita bertanya : Lalu siapa pelaku yang menyebabkan Ipal tewas?
Agar kita tetap dinyatakan waras, punya akal sehat, memiliki adab dan nurani, maka percayalah bahwa pelakunya bukan genderuwo, bukan arwah penasaran yang gentayangan dalam sel, bukan pula Chucky sang boneka pembunuh.
Lalu dimana hukum ketika Ipal yang memiliki hak-haknya sebagai tersangka sekarat dan akhirnya tewas dalam sel sebagaimana yang diberitakan?
Ah, seandainya Mariyuana dilegalkan, dan orang-orang gembira dalam hidupnya, penuh kelembutan, perasaan bahagia, merdeka, sentosa serta mulia sembari tetap menjaga kewarasan dan adab sebagai manusia yang selayaknya memanusiakan manusia, maka adakah angka kejahatan di atas muka bumi ini hilang?
Selamat jalan Aiptu Joko Suswanto…. Selamat jalan Ipal…. (*)