Indonesiakah Kita ? Sebuah Catatan Perjalanan

Bagikan Artikel Ini:

Indonesiakah Kita ? Sebuah Catatan Perjalanan
BOLMONG – Sabtu, 22 Agustus 2020. Pagi itu, setelah gerimis terakhir dari hujan yang turun sejak subuh menguap, aku segera memastikan perjalanan ke satu destinasi yang tak banyak didatangi orang-orang.

Lewat telepon genggam, aku menghubungi seorang kawan yang malam sebelumnya telah membuat janji untuk sama-sama berkunjung ke sana. Setelah perihal janji kami tuntas, aku segera menghubungi Camat Bilalang, Irwanto Mokoginta yang juga dalam beberapa bulan terakhir merangkap sebagai Pelaksana Tugas di desa yang akan kami tuju.

Bak gayung bersambut, kata berjawab. Maksud hati hanya ingin memberitahu keberangkatan ke wilayah yang dipimpinnya, malah ditawari tumpangan gratis.

Dalam perbincangan kami, pak Irwanto yang olehku akrab disapa papa Aming itu menawarkan tumpangan karena pada hari yang sama supir pribadinya, Ardik Mokoginta akan mengantarkan bahan untuk pembangunan Polindes di sana. Tanpa pikir panjang, tawaran yang baik itu tak ku sia-siakan.

Kami pun berangkat dari arah Kota Kotamobagu menuju Tudu Aog. Dalam perjalanan kurang lebih setengah jam itu, kami melewati jalanan desa yang kecil dan sunyi. Mobil jenis double cabin yang kami tumpangi itu pun melaju hanya sesekali pelan di jalan berlubang.

Sesampainya di Tudu Aog kami tak berhenti dan segera mengambil belokan ke kiri, sebab yang dituju bukan Tudu Aog. Sama sekali bukan.

Kami menuju desa Kolingangaan, kurang lebih masih sebelas kilometer di depan sana.

Kelihaian berkendaranya Ardik membuat dua kilometer pertama setelah simpang tiga itu dilalui dengan mulus, praktis tanpa hambatan, dan tibalah kami pada penghujung aspal itu.

Dari balik dashboard terlihat jalanan tanah berbatu sudah menunggu, siap melahap ban mobil yang melintas di atasnya.

Kami mulai melintas dengan kecepatan yang diturunkan. Nampaknya, Ardik yang paham betul kondisi medan memilih untuk meredam ego pembalapnya, dan dia sedang mengejawantahkan petuah ‘biar lambat asal selamat.’

Belum juga lima menit menapaki medan berbatu itu, mobil tiba-tiba oleng ke kiri dan miring ke depan. Yah, kami sedang melintas di turunan curam sekaligus berlubang di kiri badan jalan. Setelah cukup menelan ludah akibat turunan itu, Ardik menghentikan mobil. Tampaknya, dia ingin mengambil waktu sebentar sebelum melibas tanjakan yang membentang dengan kemiringan sekitar 45 derajat di depan kami. Dalam perhentian sesaat itu, Ardik tak lupa mengatur tuas transfercase untuk mengaktifkan fungsi four wheel drive agar mobil mendapat traksi lebih besar saat menanjak. Alhasil, merayaplah kami di tanjakan yang ujungnya tak kelihatan itu. Sekali lagi, biar lambat asal selamat.

Hingga beberapa kilometer ke depan, medan yang kami lalui masih tetap sama hanya ada beberapa tanjakan yang tinggal tanah saja, mungkin batunya tergerus air saat hujan melanda. Tingkat licin yang tinggi akan sangat terasa di tanjakan itu bila jalan sedang berlumpur.

Aku yang sibuk merokok untuk mengalihkan rasa mualku—aslinya aku tak kuat bila harus berjalan jauh dengan mobil—tak lupa menyetel lagu-lagu favorit yang sempat tersimpan dalam gawai, sebab di sini kemudahan memilih lagu tak seperti di kota; yang penting 4G, kau tinggal buka platform musik digital, dan semua lagu menunggu dimainkan.

Di tengah kesunyian hutan itu, melantunlah Sahabat Sejati dan Bintang Di hatiku dari Krayon, sebuah band pop-rock lokal—yang nanti akan kuceritakan di lain kesempatan. Dan, kesunyian benar-benar dirobek oleh sekumpulan lagu kepunyaan The SIGIT, seperti Soul Sister, Up and Down, New Generation, Black Amplifier, dan masih banyak lainnya. Perjalanan pun terasa lebih bergairah.

Kurang lebih 45 menit perjalanan, tibalah kami pada sebuah gapura bercat merah putih. Aku senang bukan kepalang karena ternyata desa yang kami tuju masih bagian dari Indonesia. Maklum, selama 26 tahun masa hidupku, belum pernah aku melintas pada jalan utama yang penampakannya macam itu.

Gapura hasil KKN UNSRAT angkatan 1 tahun 2019 itu bertuliskan selamat datang anda memasuki wilayah desa Kolingangaan, Kecamatan Bilalang; hal yang lumrah untuk ukuran gapura pembatas desa. Namun, sama sekali aku tak melihat kehidupan dibalik gapura itu, sebagaimana di desa-desa lainnya.

Setelah bertanya pada Ardik, barulah diketahui letak rumah-rumah penduduk masih cukup jauh dari gapura itu. Masih sekitar 20 menit perjalanan.

Kami baru benar-benar sampai di desa itu setelah melewati bangunan SD Negeri Kolingangaan yang terletak sekitar 30 meter di sebelah kanan jalan. Dari kejauhan bangunan itu terlihat berdiri sebatang kara. Tak ada lagi bangunan lainnya di tanah lapang hijau itu.

Dari situ, kami mulai melihat rumah-rumah penduduk yang berjejer tidak cukup rapat. Kami kembali melewati gapura, kali ini terbuat dari balok-balok kayu yang dari pengamatanku, konstruksinya sudah cukup ringkih entah dimakan rayap, disapu kemarau dan hujan, atau memang tak kuat lagi menahan ketimpangan. Pada bagian atasnya dihiasi sisa-sisa Sang saka dan bentangan umbul-umbul. Keduanya bernada sama; kusam, pudar, dan setengah sobek. Entah ini Agustus keberapa keduanya terpancang di sana.

Puas terombang-ambing di dalam mobil selama kurang lebih satu setengah jam perjalanan, dengan keadaan pusing dan sedikit mual aku turun. Kami langsung bertemu dengan Sekretaris Desa Kolingangaan, Kartolo Mokodongan dan beberapa warga yang memang saat itu sedang berkumpul. Kehangatan, keakraban, dan tata krama ‘khas orang desa’ sangat kental dalam perjumpaan itu.

Bincang-bincang dimulai dengan pembicaraan mengenai desa itu.

Kartolo mulai berkisah. Menurutnya, Kolingangaan sudah ada sejak tahun 1968, di mana saat itu sekelompok petani yang akan berkebun ‘singgah makan’ di sebuah kali, hingga terciptalah nama Kalingangaan yang berarti sungai tempat mereka singgah untuk makan, namun oleh penyebutan orang lokal hingga lafalnya berubah menjadi Kolingangaan.

Hingga kini, Kolingangaan dihuni oleh 95 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah jiwa sebanyak 344 orang dengan mayoritas penduduk adalah petani, yang mengolah berbagai tanaman, di antaranya seperti cengkeh, kopi, dan kemiri.

Desa yang berada di dataran tinggi itu, oleh Kartolo, baru menjadi desa definitif pada tahun 2007 lalu, yang sebelumnya masih merupakan Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan ikut menerima bantuan rumah hunian dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) pada tahun 2001. “Ini rumah bantuan dari Pemprov (Sulut, red) pada 2001,” ucapnya sembari menunjuk rumah tempat kami berjumpa dan beberapa rumah di sekitarnya yang masih terbuat dari papan kayu, berlantai tanah itu.

Pada waktu itu, lanjut dia, desa Kolingangaan menerima bantuan rumah hunian sebanyak 83 unit. “Itu bantuannya mulai 2001 dan pembangunannya selesai 2003,” ungkapnya.

Beberapa waktu berselang, pada tahun 2018 Kolingangaan juga kembali menerima bantuan rumah hunian lewat program pemerintah. “Yang pertama pada tahun 2018, sebanyak 10 unit, kalau sekarang sudah 40 unit,” terangnya.

Bantuan tersebut diterima dalam bentuk bahan bangunan dan pengerjaannya merupakan swadaya masyarakat. “Yang ditanggung kan hanya bahan, untuk pengerjaan adalah swadaya masyarakat. Tapi ada juga yang tambahan Rp 2.500.000 untuk upah kerja tapi kalau tukangnya minta 5 juta maka sisanya jadi tanggungan tuan rumah,” jelasnya.

Pada tahun yang sama, desa itu juga sudah dialiri listrik sehingga tak lagi harus bergantung pada panel surya dan lampu petromax sebagai sumber penerangan. Kini, setidaknya Kolingangaan tak lagi gelap gulita seperti dahulu.

“2018 akhir listrik masuk. Sebelumnya, dari tahun 2015 kita gunakan solar sell. Sebelum menggunakan panel tenaga surya kita masih menggunakan lampu petromax,” ujarnya sambil mengingat-ngingat kondisi desanya dahulu.

Meski begitu, jaringan seluler belum tersedia di desa itu, sehingga untuk kepentingan mendesak, Kartolo mengaku, harus mencari tempat di areal puncak untuk sekedar melakukan panggilan via handphone.

“Di sini tidak ada jaringan, semua kartu. Jika ada kepentingan mendesak, seperti memberitahukan ada keluarga yang sakit maka kita harus mencari tempat yang ada jaringannya. Kalau di sini, kita harus kembali menyusuri jalan Kolingangaan arah Tudu Aog. Tempat yang ada jaringan di Tudu Tawan, jaraknya kurang lebih 5 kilometer dari sini,” ujar Kartolo.

Selain itu, Kartolo mengatakan, satu hal yang sangat dibutuhkan desanya adalah kemudahan akses, dengan kata lain warga Kolingangaan mendambakan jalanan aspal nan mulus seperti jalan di desa-desa lain. Dia mengaku telah berulang kali mengusulkan pembangunan jalan tersebut melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). “Kalau untuk jalan sudah selalu diusulkan lewat Musrenbang. Bahkan, pernah untuk usulan Kecamatan Bilalang prioritas itu satu, yakni jalan Kolingangaan,” ungkapnya.

Namun, bak cinta bertepuk sebelah tangan, jalan Kolingangaan masih saja tak semulus harapan masyarakatnya.

Dengan kondisi jalan seperti itu, otomatis tarif jasa angkutan pun melangit. Untuk jasa angkutan ojek dibandrol dengan harga Rp 50.000 sekali jalan dari Kolingangaan ke Tudu Aog, sementara untuk angkutan mobil bertarif Rp 450.000 Rupiah sekali jalan.

“Untuk motor sekali jalan tarifnya 50 ribu, pergi pulangnya 100 ribu. Untuk mobil, bisa dapat harga 30 ribuan, tapi itu untuk mobil yang memang kebetulan berangkat pulang dan sudah ada muatan sebelumnya. Kalau mobil kosong dan memang kita carter, tarifnya 450 ribu Rupiah,” terang Kartolo.

Sebagaimana yang dikatakan Kartolo, penduduk di sana menjual hasil panennya di Kota Kotamobagu, dan sejauh ini belum ada angkutan yang memang khusus untuk jalur ke Kolingangaan. “Tarif tadi hanya untuk perjalanan dari Kolingangaan ke Tudu Aog, jika penumpang akan melanjutkan ke Kotamobagu maka akan menambah tarif lagi sebesar 10 ribu Rupiah,” kata Kartolo.

Jalan yang kami lewati beberapa saat sebelumnya itu, tambahnya, masih lumayan baik dilewati sebab empat hari terakhir belum terjadi hujan. ”Sudah empat hari terakhir belum hujan, kalau hujan mobil jenis double cabin pun susah melewati jalan itu,” ujarnya.

Oleh karena letak wilayahnya yang ada di dataran tinggi, dia bersama masyarakat setempat pernah mencoba menanam kentang. Dan, kentang tersebut tumbuh subur dan berhasil dipanen, namun kendala justru terjadi setelah panen.

”Sudah pernah coba (menanam kentang, red) tapi masalahnya akses untuk keluar. Kalau dikemas dalam karung dan dimuat dalam mobil, kentangnya malah rusak bergesekan dan saling tindih karena melewati jalan yang seperti itu,” imbuh Kartolo yang mengaku sudah menjabat Sekdes sejak 2007 silam.

Dari caranya bertutur dan dari binar matanya, terlihat Kartolo sangat mendamba akses yang mudah keluar masuk kampungnya.

Tiba-tiba, seorang lelaki yang dari tadi duduk di dekatnya juga menimpali dengan harapan yang sama. “Harapan kita agar jalan jadi bagus dan segera ada jaringan,” singkat lelaki yang belakangan diketahui bernama Amir tersebut.

Dari hasil perjalananku itu, nampaknya gema ‘Indonesia Merdeka’ belum benar-benar membumi ke seluruh penjuru negeri. Bagaimana tidak, untuk ukuran konsensus negara bangsa berumur 75 tahun, masih ada desa yang belum benar-benar mencicipi berbagai kemajuan.

Namun, sekelumit kekurangan dan keterbatasan yang melanda desa tersebut tak serta merta melunturkan rasa cinta tanah air mereka.

Sang Saka yang (masih) berkibar gagah di depan rumah-rumah mereka adalah bukti cinta dalam kesederhanaan.

So, akhir kata, sudahkah kita (benar-benar) merdeka ?

Penulis : Indra Umbola

Tags:
author

Author: 

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.