STRUKTUR SOSIAL PATRIARKI SEBAGAI PEMBATAS PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU

Oleh : Aprila Philia Regar*

ABSTRAK

Perempuan telah diberikan kesempatan melalui pengaturan aksi afrimatif 30 persen kuota perempuan dalam undang-undang. Akan tetapi, perempuan masih mengalami keterbatasan secara struktural dengan masih bertahannya struktur sosial patriarki yang telah terlembaga sedemikian rupa sehingga menjadi pembatas perempuan untuk dapat berpartisipasi secara dalam lembaga penyelenggara pemilu. Dengan kata lain, persoalan kesetaraan akses perempuan untuk masuk dan berpartisipasi dalam lembaga penyelenggara pemilu adalah persoalan yang sifatnya struktural, alih-alih institusional ataupun normatif. Kajian ini menggunakan sumber-sumber kepustakaan untuk dianalisis dengan memahami kaitan antara struktur sosial patriarki dan partisipasi perempuan sebagai penyelenggara pemilu. Kajian ini berkesimpulan bahwa walau telah diberikan pengakuan dan kases yang diatur dalam bentuk aksi afirmatif, nyatanya hal ini belum secara signifikan menghilangkan pembatas perempuan. Hal itu karena struktur sosial patriarki masih dominan dalam relasi sosial dan terlembaga dalam proses serta mekanisme penyelenggaraan pemilu pada lembaga penyelenggaranya.

Kata Kunci: Struktur sosial patriarki; Perempuan peyelenggara pemilu; partisipasi perempuan

 

PENDAHULUAN

 

Setelah mengalami kooptasi kekuasaan sedemikian rupa selama 32 tahun otoriatrianisme Orde Baru, proses Pemilu Indonesia pada masa reformasi pada akhirnya mengalami demokratisasi. Pemilu pertama pada tahun 2004 menjadi pengalaman penting bagi Indonesia untuk melembagakan institusi, prosedur, dan mekanisme pemilihan umum secara langsung dalam suatu tatanan masyarakat yang beragam dengan skala geografi yang begitu luas. Partai politik mulai mengkonsolidasikan kekuatan, dan berupaya menjadi pemenang dalam setiap kompetisi elektoral secara langsung, baik untuk memilih anggota parlemen maupun presiden. Sementara itu, lembaga penyelenggara Pemilu yang bertindak sebagai wasit dalam kompetisi, perlahan-lahan mulai mematangkan institusi untuk bertindak berdasarkan kerangka hukum yang telah diakui. Salah satu kemajuan yang telah terlembaga dalam sistem Pemilu di Indonesia adalah terbitnya undang-undang nomo 07 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Peraturan ini tidak hanya mengatur tentang sistem Pemilu, akan tetapi juga mengakomodir keberpihakan terhadap isu-isu gender dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan

 

sebanyak 30% sebagai suatu aksi afirmatif penyetaraan perempuan, baik itu pada peserta pemilu, maupun penyelenggara pemilu.

Namun demikian, pelembagaan aturan yang sekilas berkontribusi pada kemajuan penataan sistem pemilu, khususnya melalui aksi afirmatif keterwakilan perempuan, baik dalam peserta pemilu atau penyelenggara pemilu, bukan berarti telah menghilangkan strukstur sosial bersifat patriarkis yang dapat menjegal partisipasi ataupun keterwakilan perempuan. Perbaikan reformis secara institusional nyatanya masih meninggalkan struktur relasi superior-inferior antara laki-laki dan perempuan.

Studi yang dilakukan oleh PUSKAPOL UI memperlihatkan bahwa walaupun terjadi partisipasi secara relatif oleh perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu seperti Bawaslu maupun KPU, nyatanya perempuan penyelenggara pemilu masih mengalami hambatan. Penghambat tersebut akibat masih bertahannya relasi sosial patriarkis dalam lembaga penyelenggaraan pemilu yang merupakan struktur dominan yang tidak sekedar menghambat, akan tetapi juga sebagai pembatas (lihat PUSKAPOL UI: 2016). Perempuan harus melewati serangkaian tahapan seleksi yang di dalamnya seringkali tidak mengadopsi keberpihakan gender, sehingga perempuan calon penyelenggara tidak jarang mengalami ragam keterbatasan untuk menjadi bagian dari penyelenggara pemilu di Bawaslu maupun di KPU.

Argumen utama dalam penelitian ini adalah, meski terjadi perombakan secara reformis yang ditandai dengan pelembagaan prosedur hukum yang mengakomodir perempuan lewat aksi afirmatif, pada kenyataannya hal ini belum sepenuhnya menghilangkan pembatas maupun penghambat bagi partisipasi perempuan dalam penyelenggaraan Pemilu. Hal ini karena relasi sosial yang timpang antara struktur patriarki masih bertahan walaupun telah terjadi penyesuaian secara institusional kea rah penyetaraan perempuan. Penelitian ini berusaha menjawab bagaiaman relasi sosial patriarki dapat menjadi pembatas bagi partisipasi perempuan dalam lembaga penyelenggaraan Pemilu serta bentuk-bentuk pembatasnya.

TINJAUAN PUSTAKA

 

Kritik terhadap struktur sosial patriarki berangkat dari asumsi bahwa terjadi relasi dominasi antara laki-laki yang menempati posisi dominan dalam ragam relasi sosial, dengan perempuan yang subordinat yang mengalami penguasaan oleh laki-laki. Dalam hal ini, laki- laki adalah kelompok sosial yang diuntungkan dengan adanya relasi yang timpang ini. Sylvia Walby dalam Theorizing Patriarchy (1990) mendefinisikan patriarki sebagai sistem struktur sosial serta praktik, dimana laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi

 

perempuan. Sebagai suatu struktur sosial, relasi dominasi ini bagi Walby hadir dalam arena kerja upahan, produksi rumah tangga, budaya, sexsualitas, kekerasan dan negara. Dalam keluasan relasi sosial macam ini, perempuan ditundukan dengan superioritas struktur patriarki sehingga memunculkan peminggiran-peminggiran sosial sebagai konsekuensi daripada antagonism sosial. Penekanan Walby (1990) pada struktur sosial merupakan hal yang penting untuk menjauh dari jebakan determinisme biologis yang memandang laki-laki secara alamiah lebih dominan dari perempuan. Hal ini bisa kita dapat lewat pendapat- pendapat seperti “laki-laki lebih logis”, “laki-laki lebih kuat” dan segala macam produksi wacana yang mengsubordinasikan perempuan.

Sebagai suatu struktur sosial, patriarki telah terlembaga sedemikian rupa dalam relasi sosial secara lebih luas. Di arena negara, pelembagaan strukstur sosial patriarki terjadi terutama dengan hadirnya kebijakan-kebijakan yang mengsubordinasi perempuan. Dengan demikian, patriarki tidak sekedar menggambarkan dominasi laki-laki terhadap perempuan, tetapi suatu pelembagaan secara sistematis dalam relasi sosial patriarki yang memgsubordinasi perempuan secara sosial maupun ekonomi. Hal ini sekaligus turut megkonstruksi ulang pemakain istilah “patriarki” yang secara historis sering dikaitkan dengan hiraiki keluarga ketika laki-laki menempati posisi sebagai kepala keluarga. Akan tetapi, pemahaman tradisional atas patriarki ini memiliki keterbatasan. Sebagaimana yang dijelaskan Geetha (2007), tidak semua laki-laki berkuasa dalam sistem patriarki. Dengan melihat konteks India dengan pembagian struktur sosial, laki-laki yang berada pada “kasta rendahan” mengalami bentuk-bentuk opresi dan eksploitasi oleh kekuasaan dominan dan mengalami keterbatasan akses terhadap sumber daya material. Dengan demikian, alih-alih mengikuti pandangan tradisional atas patriarki sekedar kekuasaan laki-laki, analisis terhadap patriarki justru harus diletakkan dalam relasi sosial yang objektif. Sebagaimana yang ia definisikan:

Patriarki bertumpu pada pengertian maskulin dan feminim, yang didefinisikan dan diselenggarakan berdasarkan pengaturan seksual dan properti yang mengistimewakan pilihan, keingingan, dan kepentingan laki-laki di atas perempuan dalam kehidupan mereka yang ditopang oleh hubungan sosial dan praktik budaya yang merayakan heteroseksualitas, kesuburan perempuan dan keibuan di satu sisi, dan mempertahankan subordinasi perempuan terhadap otoritas maskulin dan kejantanan di sisi yang lain (Geetha: 2007).

Dengan menempatkan patriarki secara luas sebagai struktur sosial yang eksis, dapat membantu sebagai alat analisis untuk melihat relasi kekuasaan. Para sarjana feminis gelombang kedua

 

tahun1960-an berkontribusi untuk memperluas analisis terhadap patriarki, dimana dalam literatur keserjanaan feminis tersebut, patriarki dipahami sebagai sistem kekuasaan yang menekankan pada keistimewaan laki-laki atas perempuan yang dilembagakan, dan mereproduksi dirinya diseluruh masyarakat (Quek: 2019).

Dalam upayanya memeriksa operasionalisasi kekuasaan patriarki yang tertanam dalam institusi negara, Julia Suryakusuma (2011) dalam Ibuisme Negara memperlihatkan bahwa negara mengafirmasi corak kekuasaan patriarki dengan merekonstruksi perempuan secara sosial sebagai seorang Ibu dengan menghilangkan sisi-sisi politisnya. Kekuasaan patriarki yang tertanam dalam negara ini dilembagakan di dalam institusi-institusi sosial yang digerakkan oleh perempuan dimana negara berkepentingan untuk mengatur serta mengarahkan nilai-nilai patriarki terhadapnya sebagai suatu entitias yang patuh. Kondisi ini pada akhirnya semakin memperkokoh kekuasaan patriarki sebagai suatu struktur sosial yang meluas dan terlembaga ke dalam negara.

Memahami patriarki sebagai suatu struktur sosial untuk menegaskan bahwa opresi terhadap perempuan tidak lahir dari suatu bentuk kelemahan secara biologis yang selama ini seringkali dialamatkan kepada perempuan. Ragam struktur sosial yang ada, dalam cara pandang ini, meneguhkan kekuasaan patriarki sehingga aktualisasi perempuan secara sosial dalam struktur ini selalu mendapatkan diskriminasi, peminggiran, dan subordinasi. Cara pandang seperti inilah yang akan digunakan untuk melihat bagiaman struktur sosial patriarki ini berkontribusi pada pembatasan- pembatasan perempuan dalam partisipasinya di lembaga penyelenggara pemilu.

METODOLOGI

 

Secara kualitatif, kajian ini berupaya menguraikan permasalahan penelitian secara deskriptif-analitis dengan menggunakan sumber-sumber sekunder seperti artikel media, jurnal, buku, dan segala dokumen yang dianggap relevan dengan topik. Dengan demikian, kajian ini menggunakan studi literature sebagai sumber pencarian datanya. Sebagaimana yang dijelaskan Sugiyono (2012), studi literature merupakan kajian teoritis, referensi serta sumber-sumber ilmiah lainnya yang berkaitan dengan budaya, nilai dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti.

PEMBAHASAN

 

  1. Partisipasi Perempuan      dan      Keterbatasan       Aksi      Afirmatif       dalam      Lembaga Penyelenggara Pemilu

Sejak disahkannya undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, perempuan semakin terbuka peluangnya untuk menjadi penyelenggara pemilu, baik itu di KPU maupun Bawaslu, dari tingkat pusat hingga tingkat terbawah. Hal itu karena, dalam peraturan tersebut diatur kuota 30 persen bagi keterlibatan perempuan di dalam lembaga penyelenggara pemilu sebagai bentuk aksi afirmatif (affirmative action) yang mengakomodir keterlibatan perempuan. Akan tetapi, secara yuridis

 

dalam penafsiran undang-undang, peraturan ini belum mampu untuk memberikan kepastian hukum karena penggunaan frasa “memperhatikan” dalam pasal-pasal yang mengatur keterwakilan perempuan dapat menimbulkan ragam tafsir yang berbeda. Penggunaan frasa “memperhatikan” dalam aturan tersebut mengesankan kalau aturan itu tidak dapat sepenuhnya mutlak untuk diterapkan (Amelia: 2022). Dengan demikian, terdapat kebingungan dalam memahami aksi afirmatif aturan tersebut, terutama karena ia tidak memiliki sifat yang jelas, apakah penerapan aturan itu mutlak harus dilakukan atau sifatnya sebagai pertimbangan saja.

Selain berpotensi mengalami ketidakpastian dalam penerapannya, aturan tersebut nyatanya belum sepenuhnya berhasil untuk meningkatkan proporsi perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu. Misalnya adalah keterlibatan perempuan sebagai komisioner Bawaslu RI yang masih minim dibuktikan dengan data sejak tahun 2012 hingga 2022 yang hanya memiliki satu komisioner perempuan saja dari total lima komisioner. Karena ketidakpastian pengaturan aksi afirmatif 30 persen keterlibatan perempuan dalam undang-undang 7 tahun 2017, membuat proses seleksi komisioner Bawaslu RI tidak mempertimbangkan keterlibatan perempuan secara substantif, melainkan sekedar proses normatif yang harus dilalui, sehingga mengakomodir perempuan bukan didasarkan pada alasan kesetaraan gender dan kesetaraan akses, melainkan sekeder mengakomodir begitu saja.

Data Panwascam sepulau Jawa juga memperlihatkan bahwa perempuan secara proporsional masih minim. Di Jawa Barat, perempuan hanya berjumlah 2.939 dibanding laki-laki yang berjumlah

9.515. Sedangkan di Jawa Tengah, perempuan berjumlah 4.207 dibanding laki-laki yang berjumlah 7.842. Ketimpangan proporsi perempuan juga terdapat di Jawa Timur, dimana perempuan berjumlah 4.644 sedangkan laki-laki 9.603. Dengan demikian, aturan tersebut bisa dikatakan belum mampu secara signifikan meningkatkan proporsi perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu.

Tabel 1.

 

 

PERIODE

JUMLAH ANGGOTA
PEREMPUAN LAKI-LAKI
2012-2017 1 4
2017-2022 1 4
2022-2027 1 4

Sumber: Agustyati, K, N, (2022) dalam Afifah (2022)

 

Tabel 2.

 

PROVINSI LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
Jawa Barat 9.515 2.939 12.452
Jawa Tengah 7.842 4.207 12.049
Jawa Timur 9.603 4.644 14.247

Sumber: Afifah (2022)

 

Sementara itu data yang diperlihatkan oleh PUSKAPOL UI (2016) menujukan tren yang serupa dengan apa yang terjadi di Bawaslu. Anggota KPU-RI 2012-2017 hanya menunjukkan angka 14.29 persen keterwakilan perempuan. Hanya ada 1 dari 7 anggota KPU RI yang perempuan. Sedangkan ditingkat provinsi angkanya adalah 15.62 persen, yaitu hanya 5 dari 32 anggota KPU di 6 Provinsi yang perempuan.

Untuk masalah aksi afirmatif, Mahkamah Konstitusi sebelumnya sudah pernah memutus pengujian undang-undang 15 tahun 2011 tentang penyelenggaraan pemilihan umum sebelum diubah menjadi undang-undang 17 tahun 2017. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XI/2013, aksi afirmatif tidak dapat dipaksakan karena harus mempertimbangkan, misalnya kapabilitas (Amelia: 2022). Menurut MK, apabila hal ini tidak menjadi pertimbangan, maka berpotensi untuk terjadi hal yang sebaliknya, yaitu degradasi terhadap harkat dan martabat perempuan akibat faktor kapabilitas. Meskipun demikian, upaya untuk meningkatkan kapabilitas perempuan penyelenggara pemilu telah dimulai, terutama oleh kelompok-kelompok studi kepemiluan. Misalnya adalah program She Leads yang digagas oleh PUSKAPOL UI yang bertujuan untuk memberikan wawasan dan pengetahuan, serta keterampilan praktis kepemiluan yang nantinya akan menjadi bekal perempuan untuk mendaftar menjadi penyelenggara pemilu kedepan. Problem kapabilitas ini memang harus diakui sebagai salah satu kelemahan yang masih banyak dialami oleh perempuan. Agar partisipasi perempuan dapat meningkat, peningkatan kapabilitas harus terus dilakukan.

Akan tetapi, peningkatan kapabilitas ini harus dilihat dalam kaitannya dengan bagaimana peraturan juga harus membuka peluang untuk mengakomodir perempuan. Walalupun MK menekankan pentingnya kapabilitas, pada faktanya MK juga melembagakan putusan yang cenderung menguatkan subordinasi perempuan dengan tidak memberikan kepastian hukum, yaitu aturan 30 persen pengikutsertaan perempuan tidak dimaknai penerapannya secara mutlak. Dengan kata lain, apabila penerapannya tidak dapat terlaksana dengan berbagai kendala, misalnya kapabilitas yang menjadi alasan MK, maka dengan begitu MK sudah membatasi hak perempuan untuk ikut serta dalam lembaga penyelenggaraan pemilu. Dengan demikian, MK telah melembagakan struktur sosial patriarki kedalam putusan-pustusannya yang pada akhirnya akan menjadi hambatan bagi perempuan untuk terlibat dalam lembaga penyelenggaraan pemilu.

Fakta tersebut semakin memperkokoh kelembagaan patriarki yang menanamkan nilai, cara pandang, maupun perilaku dalam institusi negara yang secara spesifik dapat dilihat dalam aturan yang megatur aksi afirmatif. Pengaturan aksi afirmatif, oleh karena tidak memiliki kejelasan dan kepastian penerapannya, belum dapat dikatakan sebagai upaya untuk

 

menuju keseteraan perempuan dalam lembaga penyelenggaraan pemilu. Pengaturannya dalam produk hukum sekedar menjadi tatanan normatif yang mengalami kekalahan oleh struktur sosial patriarki yang masih kokoh. Putusan MK di atas memperlihatkan bagaimana aturan itu dapat ditafsirkan dengan mengabaikan perspektif gender. Dengan mengakomodir cara pandang patriarki, seperti pertimbangan kapabilitas dan sikap konformistis dengan mengeluarkan putusan yang menjauhi semangat kesetaraan akses bagi perempuan, mengkonfirmasi bahwa peraturan aksi afirmatif belumlah memadai untuk menyediakan akses bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam lembaga pemilu. Hal itu juga didukung dengan fakta bahwa tetap terjadi ketimpangan secara proporsional antara jumlah perempuan dan laki- laki dalam lemba penyelenggaraan pemilu.

Sejalan dengan ini, studi yang dilakukan Afifah (2022) juga menjelaskan hal serupa: secara formal, perempuan telah diberikan akses untuk berpartisipasi dengan adanya pengaturan aksi afirmatif 30 persen keikutsertaan perempuan. Akan tetapi, hal-hal formal ini masih erat dipengaruhi oleh hal-hal yang lebih struktural, yaitu masih bertahannya struktur sosial patriarki yang terlembaga secara sosial, budaya, dan turut serta membentuk nilai maupun cara pandang dengan semangat yang patriarkis pula.

B.      Struktur Sosial Patriarki dan Subordinasi Perempuan dalam Lembaga Penyelenggaraan Pemilu

Patriarki, dipahami sebagai relasi sosial yang menempatkan perempuan dalam posisi penguasaan laki-laki. Relasi sosial seperti ini secara sosial terlembaga sedemikian rupa dalam institusi. Institusi negara merupakan salah satu yang tidak lepas dari pengaruh relasi sosial patriarki. Sehingga, institusi ini mencerminkan struktur yang memperkokoh kekuasaan patriarki. Hal seperti ini jugalah yang dapat dilihat di dalam institusi lembaga penyelenggara pemilu yang didalamnya struktur sosial patriarki telah tertanam. Temuan PUSKAPOL UI telah mejelaskan bahwa salah satu sebab adanya relasi yang timpang dalam lembaga penyelenggaraan pemilu akibat eksisnya struktur sosial patriarki yang menjadi pembatas atasnya:

  1. Patriarki dan kebudayaan patriarki

Perempuan seringkali dianggap sebagai subjek yang tidak otonom dan dependen. Perempuan dianggap tidak dapat mengambil keputusan secara rasional dengan kalkulasi logis yang ia timbang-timbang secara sendiri. Untuk memilih menjadi penyelenggara pemilu, perempuan harus mengalami hambatan secara personal. Izin

 

orang tua atau suami, sangat menentukan perempuan untuk melibatkan diri dalam kerja-kerja kepemiluan yang kondisi sosio-kulturalnya masih sangat patriarkis, dan kerja-kerjanya yang menuntut waktu yang lebih. Dengan demikian, ini menjadi faktor yang pada akhirnya menjadi pembatas bagi perempuan untuk dapat terlibat. Reproduksi nilai, cara pandang, dan perilaku yang melihat perempuan sebagai entitas yang seharusnya berada di ranah domestik, sedangkan laki-laki berada dalam ranah publik, menjadi pengetahuan dominan dan diafirmasi oleh sebagian besar masyarakat sehingga membentuk perluasan struktur yang tetap mendomestifikasi perempuan. Perempuan, dalam cara pandang seperti ini dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk memimpin.

  1. Kemampuan perempuan yang diragukan

PUSKAPOL UI menyebutkan bahwa salah satu hambatan perempuan untuk berpartisipasi dalam lembaga penyelenggara pemilu adalah masih kurangnya kapasitas pengetahuan perempuan akan masalah-masalah kepemiluan. Menurut mereka, banyak dari perempuan mengalami kegagalan pada proses tes tertulis yang mensyaratkan kemampuan penguasaan materi undang-undang kepemiluan. Akan tetapi, kesimpulan yang dibuat oleh PUSKAPOL UI ini harus dipahami secara hati- hati. Setidaknya dengan alasan bahwa, kesimpulan ini rawan untuk diartikan sebagai sebuah sikap patriarki dalam memandang perempuan sebagai orang yang secara pengetahuan lebih rendah dibanding laki-laki. Soalnya bukan kepada tidak atau adanya kemampuan perempuan, akan tetapi apakah tersedia wadah yang bisa diakses secara setara bagi perempuan yang ingin memiliki kemampuan penguasaan pengetahuan kepemiluan. Alih-alih meragukan kemampuan pengetahuan perempuan, yang harus dianalisis bahwa akses perempuan terhadap pengetahuan dalam masyarakat yang patriarki seringkali tidak dapat dicapai. Oleh karena itu, keterbukaan dan kesetaraan akses untuk mendapat pengetahuanlah yang harus menjadi titik kritiknya.

  1. Ketidaksetaraan geografis

Walaupun temuan ini mengkonfirmasi adanya keterbatasan secara geografis yang menjadi penghambat partisipasi perempuan, persoalannya tidak sekedar pada geografi Indonesia yang begitu luas. Ketidaksetaraan geografis memang pada faktanya membuat sebagian perempuan mengalami keterbatasan akses. Misalnya, mekanisme wawancara yang terpusat dijakarta, harus dilalui oleh perempuan daerah yang secara geografis sangat jauh untuk mengikuti mekanisme tersebut. Akan tetapi,

 

ketidaksetaraan geografis ini akan mempunyai dampak pada ketidaksetaraan akses. Hanya perempuan-perempuan yang dibekali secara ekonomi yang cukuplah yang dapat melalui proses ini. Selain itu, penghambat sosio-kultural patriarki seperti izin oleh suami atau orang tua, masih sering membatasi untuk perempuan dapat terlibat dalam pertarungan menjadi salah satu penyelenggara pemilu. Dengan kata lain, akomodasi ini hanya dapat dicapai apabila perempuan telah memiliki akse ke sumber daya material, dan tidak hanya itu, juga keterbatasan yang menghambat dalam relasi keluarga patriarkis jugalah yang turut meperkokoh batasan tersebut.

Dengan demikian, secara jelas telah diperlihatkan bahwa persoalan keikutsertaan perempuan dalam lembaga penyelenggaraan pemilu adalah masalah yang sifatnya struktural alih-alih institusional dan normatif. Bertahannya struktur sosial patriarki dalam segala proses, terutama seleksi, menjadi penghambat paling signifikan. Perempuan secara objektif telah mengalami subordinasi oleh situasi sosial struktural seperti ini. Ia telah dikonstruksikan sebagai entitas yang dependen, dan ketidakmampuan melawan hirarki keluarga patriarkis, sehingga upayanya untuk terbebas dari belenggu struktur patriarki ini acapkali sulit untuk dilakaukan. Akan tetapi, kondisi ini bukan berarti harus disikapi secara pasif dengan menerima opresi yang terus terjadi. Ketersediaan akses yang setara bagi perempuan untuk masuk, mengembangkan diri, terlibat secara aktif dalam lembaga penyelenggaraan pemilu harus diperjuangkan. Mendorong masyarakat sipil untuk membuka wadah-wadah pengembangan perempuan untuk mendapatkan pengetahuan kepemiluan adalah hal praktis yang paling mungkin untuk dilakukan.

KESIMPULAN

 

Walaupun perempuan telah diberikan kesempatan untuk berpartisipasi secara setara dalam lembaga penyelenggaraan pemilu yang dijamin oleh aksi afirmatif 30 persen keikutsertaan perempuan, hal ini belum menjadi pendorong yang signifikan untuk menuju pada penghilangan hambatan. Hambatan tersebut lebih bersifat struktural, alih-alih institusinal atau normatif, sehingga struktur sosial yang patriarkis itulah yang menhjadi hambatan dan pembatas bagi partisipasi perempuan. Kekaburan pelaksanaan aksi afirmatif kuota 30 persen bagi perempuan juga semakin membingungkan. Tidak dimutlakannya pelaksanaan aksi afirmatif tersebut membuat peraturan ini bisa diterapkan ataupun tidak sesuai dengan alasan yang akan membenarkannya. Akan tetapi, persoalan penafsiran normatif terhadap peraturan tersebut bukanlah satu-satunya pembatas. Struktur sosial patriarki yang telah terlembaga

 

membuat pembatas-pembatas perempuan tetap eksis sehingga menyulitkan partisipasi perempuan dalam penyelenggaraan pemilu.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Afifah, Nurul Fatin. “Perempuan Pengawal Demokrasi: Upaya Penguatan Keterwakilan Perempuan dalam Kepemilua Indonesia. Jurnal Bawaslu Kepulauan Riau. Vol. 4, No. 2, Desember 2022, 159-170.

Amelia, Chintya Insani. “Problematika Keterwakilan Perempuan dalam Pengisian Keanggotaan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia”. Constitution Journal: Vol. 1, No. 2, Desember 2022, 189-202.

Geetha, V. “Patriarchy”. Calcuta: STREE, 2007.

 

PUKAPOL UI. “Perempuan Memimpin: Peningkatan Partisipasi Perempuan Di KPU RI dan BAWASLU RI”. Puskapol UI, 2016.

Quek, Kaye. “Patriarchy”. Dalam Laura J. Shepherd (ed.) Handbook on Gender and Violence. Northampton: Edward Edgar Publishing, 2019.

Suryakusuma, Julia. “Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru”.

Yogyakarta: Komunitas Bambu, 2011.

 

Sugiyono. “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung: Alfabeta, 2014. Walby, Sylvia. “Theorizing Patriarchy”. Oxford: Basil Blackwell, 1990.

 

  • Aprila Philia Regar merupakan salah satu aktifis perempuan Sulawesi Utara yang mengkonsentrasikan kajiannya pada kondisi sosial politik dan kebudayaan yang ada di Provinsi Sulawesi Utara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.