BOLMONG – Siang itu cahaya Matahari cukup terik saat saya memarkirkan kuda besi beroda dua, yang selalu setia mengantarkan saya dalam menjalani aktivitas keseharian, di pelataran parkir UPTD Puskesmas Passi Barat, Kecamatan Passi Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow.
Usai memastikan posisi tunggangan besi itu tak mengganggu arus masuk keluar kendaraan lain yang terparkir, saya pun melangkahkan kaki memasuki gedung yang dindingnya didominasi warna putih tersebut.
Setelah sebelumnya diminta untuk mencuci tangan dan diperiksa suhu badan, hal lumrah yang telah menjadi protokol wajib di masa pandemi Corona Virus Disease 2019 atau COVID-19 sekarang ini, saya pun dipersilakan menuju meja resepsionis untuk menyatakan maksud serta tujuan kedatangan; dan kemudian diminta duduk menunggu di kursi tamu.
Sejenak mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, saya kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam tas hitam lusuh yang menyelempang di bahu. Mengetuk logo aplikasi mesin pencari milik salah satu perusahaan raksasa dunia untuk berselancar di dunia digital. Segera saja saya tenggelam dalam keasyikan membaca berita-berita terbaru dari portal berita lokal yang ditulis rekan-rekan seprofesi. Yah, cukuplah untuk mengusir kejenuhan karena menunggu.
Setelah beberapa lama, terdengar suara seorang perempuan menyapa dan otomatis membuat pandangan saya teralihkan dari layar berukuran 6,3 inchi dalam genggaman.
“Maaf, sudah lama ya menunggu?”
Seorang perempuan kini telah berdiri di hadapan saya. Dan meski mengenakan masker, sorot matanya membuat saya tahu dia bertanya sambil tersenyum.
Setelah menjelaskan bahwa dirinya baru saja melaksanakan tugas pendataan EHRA (Environmental Health Risk Assessment) di lapangan, ia mengajak saya ke gedung administrasi yang letaknya bersebelahan dengan gedung tempat saya menunggu, untuk melakukan sesi wawancara memenuhi permintaan saya sehari sebelumnya.
Titi Nurmala Kekenusa, sosok Ibu dari seorang putri yang kini duduk di depan saya berbatas meja kerja, adalah salah seorang sahabat yang aktif di berbagai komunitas maupun organisasi. Bahkan dirinya dipercaya mengisi posisi Ketua dibeberapa komunitas dan organisasi tersebut. Awal perkenalan kami 6 tahun silam pun, diawali dari pertemuan di salah satu komunitas penulis.
“Jadi apa yang bisa dibantu?” satu pertanyaan kembali terlontar dari bibirnya.
Pertanyaan yang dibalas kembali dengan pertanyaan, tentu saja, tentang rasa penasaran saya akan keberaniannya dalam menghasilkan berbagai karya penulisan yang membuat namanya cukup dikenal di kalangan penulis hingga ke luar wilayah Bolmong Raya.
Dirinya nampak berpikir sesaat, karena memang mungkin butuh waktu memilah kepingan-kepingan ingatan untuk menjawab. “Awalnya ketertarikan saya di dunia literasi, karena ingin membuktikan pada suami kalau saya bisa menulis. Karena tulisan saya pernah dikritik oleh suami, hingga bikin saya menangis, serius!” tertawa kecil ia menjawab.
“Tetapi justru setelah cerpen (cerita pendek) saya berhasil masuk dalam antologi yang diperlombakan dan diikuti kurang lebih 12.000 peserta se-Indonesia, saya jadi ketagihan menulis. Hingga sekarang kurang lebih, beberapa cerpen, sajak, monolog dan puisi, telah diterbitkan di kurang lebih sekitar 50-an antologi,” tuturnya yang membuat saya cukup terperangah. 50 itu bukanlah jumlah yang sedikit, tentu saja.
Sambil beranjak berdiri dari duduknya untuk mengambilkan saya air mineral yang berada di meja sebelah, sahabat saya ini bercerita bahwa ia telah memiliki kelas belajar daring atau online, via aplikasi perpesanan WhatsApp, bernama BMB (Belajar Menulis Bareng) berisikan ratusan anggota aktif hingga sekarang dan telah berjalan beberapa bulan terakhir.
“Awalnya ditawari sebagai tutor memang ada sedikit keraguan, tapi Bismillah sajalah. Kapan lagi ada kesempatan seperti ini. Dan Alhamdulillah, ada beberapa anggota adalah warga Indonesia yang berdomisili di luar negeri,” ia berkata sambil meletakkan dua gelas air mineral lengkap dengan sedotannya air di atas meja dan memberikan gestur dengan tangan mempersilakan saya untuk minum.
Usai meneguk air yang disajikan, saya kembali bertanya tentang apa yang membuatnya termotivasi di tengah kewajiban sebagai seorang ASN dan Ibu Rumah Tangga, untuk bisa menghasilkan berbagai karya tulis; yang akhirnya berhasil menyisihkan ribuan tulisan dari penulis lain se-Indonesia dan dimuat dalam berbagai antologi berskala nasional.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa sebagian besar, terutama anak muda di Bolmong Raya, entah kenapa kurang memiliki keinginan untuk unjuk gigi meski memiliki bakat dan punya karya.
“Nah itu!” serunya dengan semangat. “Itu salah satu yang mendorong saya agar terus menulis. Untuk menunjukkan bahwa anak daerah Bolaang Mongondow pun tidak kalah dengan yang dari luar dalam berkarya.
Bahwa meski kita berada di daerah dengan segala keterbatasannya, bukan berarti kita harus mengubur impian kita. Bukan berarti kita selamanya harus jadi penonton.”
Ia berhenti sejenak untuk minum. Sepertinya banyak bercerita ternyata juga bisa membuat seorang talkative sepertinya haus.
“Karena itulah saya aktif menggelar workshop penulisan, kelas menulis online, untuk memotivasi agar teman-teman anak daerah lainnya berani menunjukkan karya.
Dari pengalaman saya di berbagai workshop penulisan, kelas online maupun sekedar sharing saat kongkow-kongkow, banyak yang sebenarnya tulisannya sudah cukup bagus. Tetapi hanya kurang percaya diri saja. Itu yang berusaha saya motivasi, meskipun saya juga masih dalam tahap belajar. Jurnalis juga harus ambil bagian kan dalam pengembangan literasi di daerah?!” tuturnya meminta keterlibatan yang saya balas dengan anggukan tanda setuju, dan tampak ia cukup puas dengan itu.
“Ini mimpi besar saya bersama beberapa teman yang aktif diberbagai bidang seni. Bahwa suatu saat dengan saling mendukung satu sama lain, akan ada karya anak Bolmong Raya yang nantinya bisa terkenal sekelas Tere Liye, Fiersa Besari, Andrea Hirata dan penulis besar lainnya.
Saya yakin, mimpi besar ini nantinya akan bisa tercapai” ucapnya penuh keyakinan.
Usai sesi wawancara itu, kami masih sedikit berbual-bual, bicara ngalor-ngidul tentang apa saja. Selayaknya obrolan antar sahabat yang jarang bertemu akibat kesibukan.
Setelahnya saya pun pamit karena masih ada beberapa pekerjaan yang menunggu untuk ia selesaikan di sisa jam kerja hari itu, dan saya tak ingin kehadiran saya lebih lama akan mengganggunya.
Saat melangkahkan kaki melintasi pelataran Puskesmas, saya merenungkan beberapa poin yang dikatakan sahabat saya.
Benar, bahwa untuk mewujudkan mimpi besar tersebut, harus ada orang-orang yang berinisiatif menciptakan support system atau sistem lingkungan yang mendukung. Sulit tentunya jika lingkungan sekitar malah berusaha menjatuhkan kita.
Penting untuk kita yang secara fasilitas dan kualitas penunjang tak sehebat di pusat sana, untuk berserikat. Saling mendorong untuk menghasilkan karya yang hebat. Saling menguatkan agar mental kita berani untuk bersaing. Tidak merasa inferior dengan mereka yang dari luar. Bukankah merdeka secara mental, adalah salah satu cara memaknai kemerdekaan?!
Pemikiran itu membawa ingatan saya mengingat penggalan lirik lagu dari Krayon, salah satu band lokal Bolmong beraliran pop-rock, “karena keterbatasan tak akan menghalangi kita mewujudkan semua mimpi.”
Merasa bersemangat, saya menengadahkan pandangan saya ke atas, melihat sang merah putih, yang terpancang di tiang besi setinggi kurang lebih 10 meter, berkibar dengan gagahnya.
Semoga mimpi besar itu akan terwujud suatu hari nanti. Tak peduli kapan, saya percaya hasrat positif itu akan menular dan diwariskan kepada generasi penerus dari tanah Bogani ini.
Tetap berkarya putra daerah. Mimpi besar kita jangan sampai terbunuh keadaan. MERDEKA!
Penulis : Iswahyudi Masloman
very good work and very inspiring