BERITATOTABUAN.COM, KOTAMOBAGU – Wacana pemberian dana aspirasi DPR bernilai puluhan triliun kepada para legislator senayan, menuai keprihatinan dan sorotan dari berbagai pihak. Tidak terkecuali dari para mahasiswa asal Bolaang Mongondow Raya (BMR) yang kuliah di Bandung, dan berhimpun dalam KPMIBM Cabang Bandung. Lewat surat terbuka yang dikirimkan mereka kepada redaksi beritatotabuan.com, para kaum intelektual muda ini meminta pertanggung jawaban dua legislator senayan asal BMR, yakni Yasti Soepredo Mokoagow dari Fraksi PAN, dan Aditya Anugerah Moha (ADM) yang kini duduk dalam jajaran Fraksi Golkar di DPR RI. Sekedar diketahui dua fraksi besar tersebut, merupakan kelompok pendukung di sahkannya dana aspirasi tersebut.
Berikut surat terbuka KPMIBM Cabang Bandung yang diterima redaksi, Rabu (01/07/2015) dini hari tadi. (jun)
Surat Terbuka Untuk ADM dan YSM; Mempertanyakan Konspirasi dalam Dana Aspirasi
Oleh : KPMIBM Cab. BANDUNG
Assalamualaikum Wr. Wb
Syalom
Salam Tabi bo Tanob
Setelah gempa bumi wacana poltitik yang hari ini melanda bumi Indonesia, kembali terperanjat dengan berita tentang dana aspirasi 20 M per kepala yang sudah diketok oleh anggota-anggota dewan yang terhormat di singgasana mereka, Senayan. Keprihatinan kumpulan-kumpulan mahasiswa dan mahsiswi Bolaang Mongondow Raya yang melanjutkan pendidikan di Kota Bandung, melihat dengan miris dan ironis bahwa ternyata wacana ini begitu sepi diberitakan di tanah Totabuan. Padahal bukankah dua orang anak asli Totabuan hari ini tengah menduduki kursi DPR RI, selaku representasi dari suara-suara rakyat BMR.
Teks ini merupakan hasil daripada diksusi yang diselenggarakan oleh KPMIBM Cab Bandung pada hari minggu, 28 Juni kemarin. Diskusi ini berangkat dari kegelisahan pemuda-pemudi BMR melihat kondisi bangsa dan daerah yang terjebak dalam kekacauan hebat. Bagi kami, diam adalah penghianatan. Terutama ketika kita semua berbicara tentang masa depan serta harga diri rakyat yang seringkali digadaikan, ironisnya oleh perwakilan rakyat itu sendiri. Kami melihat ada indikasi perampokan terhadap rakyat lewat Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang kita kenal dengan dana konspirasi, eh, dana aspirasi.
Diam-Diam Terjadi Konspirasi
Setelah lima tahun yang lalu di bawah rezim SBY, wacana tentang pemberian dana aspirasi untuk tiap anggota DPR ditolak, hari ini wacana tersebut muncul di permukaan. Kemudian pada tanggal 23 Juni kemarin, akhirnya pembahasan dana aspirasi tersebut disetujui lewat rapat paripurna DPR RI yang dipegang langsung oleh Fahri Hamzah. Bagi rakyat BMR yang belum terlalu paham ikhwal serta apa itu dana aspirasi, akan kami bicarakan disini sesuai dengan hasil diskusi KPMIBM Cab Bandung.
Gagasan dana aspirasi pada mulanya berangkat dari gagasan bahwa agar setiap anggota DPR dapat berkontribusi bagi pembangunan daerah pemilihnya. Permasalahan kenapa lima tahun yang lalu tidak sempat diketok, salah satu problematikanya adalah tidak adanya dasar hukum yang memayungi rencana dana aspirasi tersebut. Dana aspirasi dapat dikatakan juga sebagai balas budi anggota dewan terhadap konstituen yang dianggap berhasil membawanya ke parlemen. Dana tersebut akan dikucurkan dengan total 20 M per individu. Yang apabila kita hitung secara total, jumlahnya adalah 11,2 Triliun sesuai dengan jumlah keseluruhan seluruh anggota DPR RI. Dengan estimasi seperti itu, tidak diragukan lagi nantinya APBN akan membengkak dan potensi terjadi kekacauan perimbangan keuangan antara DPR dan pemerintah sangat mungkin terjadi.
Meskipun wacana dana aspirasi berada di tengah-tengah badai Pro dan Kontra, akan tetapi akhirnya lolos juga dan ditetapkan di sidang paripurna. Melihat dari perspektif hukum, kami secara pribadi menilai bahwa dasar hukum yang digunakan sebagai legalitas eksistensi dana aspirasi sangat lemah. Merujuk kepada pasal 80 poin (j) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR RI, DPRD dan DPD (selanjutnya disingkat UU MD3), bahwa hak anggota DPR RI adalah “mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah masing-masing”.
Beberapa kritik yang lahir dari diskusi KPMIBM, merentet menjadi beberapa poin yang perlu untuk diketahui oleh seluruh rakyat terutama rakyat BMR. Bahwa, pertama, dengan diperolehnya legitimasi anggota DPR sebagai eksekutor anggaran. Berlandaskan pasal 80 poin (j) UU MD3, bahwa anggota DPR RI tidak memiliki hak untuk bekerja secara nyata dan langsung di lapangan, lantas apa lagi bedanya dengan tugas pokok dan fungsi dari lembaga Eksekutif? Dalam teori pemisahan kekuasaan Montesqieu (Trias Politica), agar supaya negara tidak berlaku diktator maka kekuasaan harus dipisahkan menjadi beberapa lembaga kekuasaan yakni Eksekutif , Yudikatif, dan Legislatif. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwasanya lembaga Legislatif hanya berperan dalam ruang lingkup legislasi, aspirasi dan budgeting. Sedangkan fungsi untuk mengeksekusi program dan aspirasi, merupakanfungsi daripada Lembaga Eksekutif. Dengan adanya dana aspirasi, maka hilanglah batas-batas antara kekuasaan Eksekutif dan Legislatif. Ketakutan yang akan muncul, akan terjadi tumpang tindi kewenangan.
Yang perlu dipahami bersama adalah bahwa DPR RI selaku lembaga Legislatif tidaklah berperan sebagai eksekutor anggran. DPR hanya bisa menganggarkan dana untuk dilaksanakan dan diselenggarakan secara langsung dan aktif oleh unit pemerintah pusat ataupun unit pemerintah daerah.
Kedua, terjadi tumpang tindih antara peran DPR RI dan DPRD. Kebijakan tentang dana aspirasi secara nyata melanggar prinsip subsidiaritas, yakni prinsip bahwa institusi yang lebih tinggi (pemerintah pusat) harus melakukan pengendalian diri untuk tidak mengambil alih tanggungjawab institusi yang lebih rendah. Namun institusi yang lebih tinggi bertanggungjawab menolong institusi yang lebih rendah mencapai kemandirian. Dalam prinsip Otonomi Daerah sesuai dengan UU No 3 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, bahwa instansi yang lebih rendah diberikan keleluasan untuk mengurus diri sendiri.
Bila kita analisis, kewenangan anggota DPR RI untuk mengurusi kepentingan daerah dimana dia terpilih, rupanya mengalami tumpang tindih dengan kewenangan anggota DPRD. Bagaimana tidak? Sesuai dengan asas dekonsentrasi, bahwa lembaga pusat hanya memiliki kewenangan mengurusi urusan pusat sedangkan pemerintah daerah hanya memiliki kewenangan di daerah. Kalau dana aspirasi memberikan legitimasi terhadap anggota DPR RI mengurusi kepentingan daerah, lantas apa gunanya DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota? Kalau begitu bubarkan saja.
Bukankah anggota DPR RI ketika terpilih, dia harusnya merupakan representasi rakyat Indonesia. Maka DPR RI harusnya fokus di dalam memperhatikan kepentingan nasional. Ketika nantinya DPR RI membawa gengsi serta ego kedaerahan di tengah-tengah kepentingan nasional, yang terjadi hanyalah ego sektarian. Fokus terhadap pembangunan nasional secara menyeluruh dan total kemudian tereduksi. Maka, daripada mengurus dana aspirasi untuk daerah pemilihannya lebih baik tidak usah, yang harusya merupakan urusan DPD karena DPD lebih khusus berbicara dan mengurusi kepentingan otonomi daerah. Kalau ternyata DPR RI masih ngotot untuk mengerjakan dana aspirasi, bubarkan saja DPD.
Ketiga, dana aspirasi melanggar prinsip proporsionalitas atau prinsip keadilan dalam pemerataan pembangunan. Berbicara tentang keadilan, maka konsekuensi logis adalah memikirkan juga perihal kesetaraan. Mari kita analisis secara sederhana apabila dana aspirasi ini dberlakukan, misalnya provinsi A mengirimkan delapan orang delegasi ke Senayan, bagaimana dengan daerah yang sedikit perwakilannya? Konklusinya, adalah bahwa (1) akan ada ketidaksetaraan, (2) kecemburuan sosial, dan (3) ketimpangan pembangunan.
Selain itu, bila kita cermati secara seksama. Nantinya yang akan menikmati dana aspirasi ini malah adalah daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang tinggi. Lantas bagaiamana nasib daerah dengan tingkat penduduk yang rendah? Ketimpangan pembangunan dari dana aspirasi kalau dikelompokan berdasarkan pulau, sekitar 54 % terdistribusi di Jawa, 22% di Sumatera. Selebihnya di Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masing-masing hanya kurang dari 10%.
Keempat, model dana aspirasi tidak sesuai dengan sistem pemerintahan di Indonesia. Model dana aspirasi yang disepakati oleh DPR RI mengikuti konsep pork barrel politics di Amerika Serikat. Konsep ini tidak memiliki dasar hukum yang memadai di Indonesia, dikarenakan di Indonesia, Lembaga Legislatif tidak berhak menjadi kuasa pengguna anggran.
Kelima, dana aspirasi hanya akan membebani anggaran. Dengan disahkannya eksistensi dana aspirasi, maka potensi tumpang tindih dengan penggunaan anggaran yang sudah disepakati oleh pemerintah pusat dan DPR RI dalam APBN sangat tinggi terjadi. Selain itu apabila kita merujuk pasal 12 ayat (2) UU No 17 Tahun 2003, bahwa RAPBN disusun berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah, bukan berdasarkan daerah pemilihan.
Dana aspirasi bertentangan dengan asas dana perimbangan. Dana aspirasi hanya akan semakin menambah dana liar ke daerah yang tida sesuai dengan asas dana perimbangan yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan seperti yang diamanatkan dalam UU No. 33 Tahun 2004. DPR tidak bisa serta merta mengalokasikan dana aspirasi tanpa adanya payung hukum atau ketentuan normatif dalam UU Pemerintah Daerah.
Keenam, adanya tendensi bahwa apara anggota DPR yang terhormat hanya ingin melanggengkan status quo, agar lebih lama bisa berkuasa di atas kursi Senayan. Bahwa dana aspirasi kemudian akan menjadi program pribadi jangka panjang mereka untuk menghadapi PEMILU 2019 nanti. Jelas dana aspirasi akan menjadi efektif untuk menarik simpati konstituen. Sehingga para anggota DPR tidak perlu modal banyak untuk kembali mencalonkan diri. Padahal anggota DPR sudah mendapatkan dana tambahan yang besar nilainya. Dana reses yang diterima para anggota dewan setiap kali masa reses juga sudah ditingkatkan.
Ketujuh, berdasarkan hasil survey, dana aspirasi malah banyak memunculkan penolakan dari masyarakat. Litbang Kompas dalam salah satu jajak pendapat yang dilakukan pada tanggal 17-19 Juni 2015, merilis bahwa tingkat ketidakpuasan masyarakat pada kinerja DPR berkisar di angka 85,6%. Survey tersebut dilakukan dengan partisipan berjumlah 639 responden yang berdomisili di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Palembang, Medan, Makassar, Manado, Pontianak, Banjarmasin dan Denpasar. 76,7% tidak yakin dana aspirasi yang diusulkan DPR bisa meningkatkan pemerataan pembangunan. Rupanya para anggota dewan yang terhormat mengalami paradoksikalitas dalam berpikir. Bagaimana bisa dana aspirasi diketok dengan nama dana “aspirasi”, sedang sesuai dengan jajak pendapat yang dilakukan, aspirasi yang muncul malah lebih dari 75% tidak menyetujui dana aspirasi yang disepakati oleh DPR.
Kedelapan, akan terjadi overlapping dengan UU terkait. Bila dana aspirasi ini dilaksanakan, maka akan terjadi ketidaksesuaian dengan UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Pebendaharaan Negara, UU N. 33 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Secara konseptual dana aspirasi memiliki tendensi overlapping dengan dana desa yang di dalam UU No. 6 Tahun 2014 telah mengkonsepkan pelaksanaan pembangunan secara nyata. UU tersebut telah menyerahkan kemandirian mengurus diri sendiri pada desa, maka tidak perlu lagi DPR RI untuk turun mengurusi.
Dengan demikian, konklusi yang kemudian kami tarik dari segudang problematika yang terpendam dalam konspirasi dana aspirasi ini, adalah bahwa dana aspirasi merupakan produk cacat daripada kekeliruan berpikir (fallacy of logic) para anggota dewan yang terhormat. Dan semoga saja kami salah, dengan berpandangan bahwa para anggota dewan yang terhormat, menyepakati kebijakan dana aspirasi ini dengan landasan syahwat serta libido politik yang berlebihan demi mempertahankan status quo. Semoga saja merupakan kesimpulan yang salah, bahwasanya kebijakan yang dikeluarkan tersebut adalah suatu fenomena keserakahan akan kekuasaan atau abuse of power.
Meminta Pertanggujawaban Perwakilan Legislator BMR
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa hari ini terdapat enam orang perwakilan Sulawesi Utara di singgsana Senayan. Dari hasil kesepakatan dana aspirasi, hanya fraksi PDIP, HANURA dan NASDEM saja yang menolak perihal dana aspirasi ini. Dengan kata lain, mari kita mempertanyakan sikap serta suara hati daripada empat perwakilan Legislator Senayan selaku putra daerah. Bagaimana sikap seorang Weni Waraue dari fraksi Gerindera, E.E. Mangindaan dari Demokrat, terutama yang terhormat Aditya Anugerah Moha dan Yasti Soepredjo Mokoagow selaku anak daerah BMR.
Dalam penilaian kami, tidak etis apabila rakyat dibiarkan dan diasingkan dengan ketidaktahuan mereka. Sedangkan bumi Indonesia, terutama Totabuan, sedang ramai dengan goncang-gancing perspesi negatif mengenai dana aspirasi ini. Sekali lagi, semoga saja kami yang salah menilai bahwa RAPBN 2016 nanti akan dirampok secara besar-besaran oleh para legislator yang terhormat. Sehingga dengan penuh dengan kerendahan hati, bisakah kami mengacu pada Pasal 81 poin (k) UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MD3, bahwa kejawiban para anggota DPR RI adadalah “Memberikan pertanggungjawab secara moral dan politik kepada konstituen di daerah pemilihannya”.
Sebelum teks ini berakhir, merupakan harapan besar kami selaku pemuda yang digadang-gadang sebagai agen pembangunan, agar dapat memperoleh klarifikasi langsung dengan yang bersangkutan. Jikalau memang misi yang dibawa oleh ADM dan YSM terutama, merupakan misi pembangunan tanpa menghianati kepercayaan rakyat, maka pertanggungjawabkan itu pada kami sehinga kami merasa tidak salah memilih orang. Akhir kata, kami tantang kalian untuk membuktikan bahwa Leo Tolstoy salah ketika dia berucap “Diam-diam, negara sedang melakukan pestapora perampokan!”. (*)