SEJARAH PEMILU INDONESIA DAN PERAN GEREJA

Bagikan Artikel Ini:

 

Oleh: Aprila Philia Regar

 

Sebagai suatu lembaga yang berada dalam kehidupan masyarakat, Gereja tidak sekedar berfungsi sebagai penjaga iman masyarakat, atau pilar dari moralitas keagamaan. Akan tetapi, Gereja juga memiliki fungsi sosial untuk terlibat aktif dalam perubahan kondisi masyarakat ke arah yang maju. Salah satu fungsi sosial itu adalah perenan Gereja dalam Pemilu di Indonesia. Peran Gereja dalam Pemilu ini bukanlah aktivitas politik partisan Gereja, akan tetapi keterlibatan Gereja untuk mendorong kualitas Pemilu di Indonesia.

Sejarah Pemilu di Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Sukarno dan Hatta pada 1945, tiga bulan setelahnya pemerintah Indonesia telah menyatakan keinginan untuk melaksanakan Pemilu. Hal itu tertuang dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta 1945 tanggal 3 November. Dalam Maklumat X, disebutkan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan dilaksanakan pada Januari 1946. Akan tetapi, hal ini urung terlaksana akibat instabilitas politik Indonesia yang masih berjuang mempertahankan kemerdekaan.

Pemilu pertama di Indonesia baru terlaksana pada tahun 1955. Pemilu pada tahun ini dilaksanakan sebanyak dua kali untuk memilih anggota DPR pada 29 September 1955 dan anggota Konstituante pada 25 Desember 1955. Pemilu 1955 menggunakan sistem proporsional, yaitu perolehan kursi partai politik disesuaikan dengan perolehan suara yang berhasil diraih partai politik. Akan tetapi, setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Sukarno yang menyatakan kembali kepada UUD 1945, DPR dan anggota Konstituante hasil Pemilu 1955 digantikan oleh DPR Gotong Royong.

Pemilu kedua dilaksanakan pada 1971 dengan keikutsertaan 10 Partai, yitu Parmusi, PSII, PERTI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, PNI dan Golkar, serta 1 Ormas yaitu NU. Hasil Pemilu 1971 menetapkan Golkar sebagai pemenang. Selama kekuasaan 32 tahun Orde Baru Suharto, Pemilu terlaksana dengan kontrol otoritarian yang kuat oleh rezim Suharto. Akibatnya, proses Pemilu selama Orde Baru mengalami pengkondisian untuk mempertahankan kekuasaan Orde Baru melalui Golkar. Selama Orde Baru, Pemilu dilaksanakan pada tahun 1971, 1982, 1989, 1992, dan 1997. Hasil Pemilu selalu menetapkan Golkar sebagai pemenangnya.

Pasca berakhirnya rezim otoriatrianisme Orde Baru, Pemilu diselenggarakan pada tahun 1999 dengan keikutsertaan banyak Partai, yaitu 48 Partai. Hal ini karena telah terbukanya kebebasan politik yang sebelumnya mendapat tekanan selama Orde Baru. Pemilu saat ini menggunakan sistem proporsional dengan penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak di daerah pemilihan tempat calon tersebut mencalonkan diri.

Penyelenggaraan Pemilu yang dilaksanakan pada era reformasi kemudian dilaksanakan sejak tahun 2004 hingga 2019 untuk memilih anggota parlemen, Presiden/Wakil Presiden, hingga Kepala Daerah, baik Provinsi ataupun Kabupaten/Kota. Pemilu pada periode reformasi ini berjalan baik diiringi dinamika politik yang semakin menandakan kemajuan dalam penyelenggaraan Pemilu. Walaupun begitu, secara struktural Pemilu di Indnesia pasca Reformasi masih dihantui oleh politik uang sehingga memengaruhi kualitas serta hasil dari proses Pemilu tersebut.

Bagaimana Seharusnya Gereja Berperan dalam Kemajuan Pemilu?

Pemilu di era Reformasi, walaupun mengalami kemajuan jika dibandingkan dengan Pemilu di era kontrol otoritarian Orde Baru, nyatanya masih mengandung sekelumit masalah yang serius. Bertahannya politik uang, maraknya politik identitas, hingga penyebaran mis informasi, bahkan dalam beberapa kasus memicu konflik di masyarakat, menjadi masalah serius yang harus ditangani seluruh elemen bangsa.

Gereja yang mimiliki fungsi sosial memiliki peran yang sangat signifikan. Gereja menjadi pemimpin jemaat, dimana Gereja bisa berperan untuk menyampaikan pesan-pesan damai seiring penyelenggaraan Pemilu.

Gereja dapat mendorong, melalui aktivitas kegerejaan dan sosialnya, agar Pemilu harusnya menjadi kekuatan untuk menghimpun persatuan kebangsaan. Misalnya adalah melalui pendidikan kepada jemaatnya. Gereja bisa mendidik jemaatnya tentang bahayanya politik uang. Dalam hal ini, Gereja harus mendorong jemaatnya untuk tidak menjadi pemilih pragmatis dengan menerima politik uang, akan tetapi sebagai pemilih yang rasional.

Maraknya politik identitas juga harus menjadi perhatian Gereja. Lewat legitimasi religius dan sosialnya, Gereja dapat mendorong politik yang mengedepankan kepentingan bangsa alih-alih kepentingan bercorak identitas. Ketika masyarakat terbelah akibat politik identitas, Gereja harus berperan sebagai penyatu dengan mempertahankan perbedaan sebagai kekuatan, alaih-alaih hambatan.

Gereja juga memiliki kekuatan untuk mendorong kualitas penyelenggaraan pemilu agar tetap berintegritas. Gereja harus mendorong lembaga penyelenggaraan Pemilu untuk mengedepankan pemilu yang adil, jujur, inklusif, dan berintegritas, agar kepercayaan masyarakat terhadap proses Pemilu dapat terjaga.

Peran Gereja untuk mendorong kualitas Pemilu yang lebih maju dibutuhkan sebagai keterlibatan sosial Gereja untuk mengatasi masalah-masalah kebangsaan. Tanpa peran Gereja secara sosial, Gereja hanya akan berfungsi sebagai institusi religius semata. Padahal, Gereja secara sosial mempunyai peran yang signifikan.

  • Aprila Philia Regar merupakan salah satu aktifis perempuan Sulawesi Utara yang mengkonsentrasikan kajiannya pada kondisi sosial politik dan kebudayaan yang ada di Provinsi Sulawesi Utara.
Tags:
author

Author: 

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.