Oleh : Sumardi Arahbani
Editor: Junaidi Amra
Selama ini, jejeran pahlawan nasional telah di publikasi media massa. Tidak bisa dipungkiri, warga di daerah asal tempat pahlawan itu lahir dan berinteraksi sosial, pastinya memiliki kebanggan tersendiri. Setidaknya semangat dan jiwa kepahlawanan akan melekat dalam diri mereka.
Sayangnya, dari jejeran nama ratusan pahlawan nasional itu, belum ada satu pun berasal dari wilayah Bolaang Mongondow Raya (BMR).
Meski demikian, siapa sangka, jika ada salah satu putra BMR yang ternyata dalam pergulatan perjuangan kemerdekaan, ikut serta dalam proses perebutan kemerdekaan negara ini. Ya, dialah Letjend Ahmad Yunus Mokoginta, dimana dari literatur yang didapat penulis, Letjend Ahmad Yunus Mokoginta, merupakan salah seorang diantara empat tokoh masing-masing Letjend. Ali Sadikin, Jend.(Pol) Hoegeng Imam Santoso, Letjend. Muhammad Yasin, yang mendeklarasikan Petisi 50.
Dalam momentum peringatan Hari Pahlawan yang jatuh 10November, penulis akan mencoba mengulas tentang perjalanan hidup, putra Totabuan itu, yang hingga kini seolah terlupakan oleh sejarah.
Saking terlupakannya, sampai-sampai di sejumlah buku hanya ditulis Yusuf Mokoginta. Seperti buku “Ilmu Pengetahuan Sosial 3, untk kelas 3 SMP halaman 64, dimana ini juga diperkuat dengan buku berjudul Sedjarah TNI-AD Kodam VII/Diponegoro: Sirnaning Jakso katon: Volume 2, serta buku Suharto and his generals: Indonesian military politics, 1975-1983.
Ahmad Yunus Mokoginta lahir 28 April 1921 di Kotamobagu dari keluarga aristokrat di Bolaang Mongondow. Hijrah ke Jawa pada tahun 1926 mengikuti ayahnya, Abraham Patra Mokoginta, seorang Jogugu (Perdana Menteri) yang di asingkan oleh pemerintah kolonial Belanda karena mendukung gerakan Serikat Islam di Kotamobagu.
Pada masa perang Pasifik dia masuk Akademi Militer Breda di Bandung. Saat pendudukan Jepang dan masa-masa menjelang dan setelah Proklamasi, terlibat dalam gerakan pemuda. Mokoginta bergerilya di Jawa Barat saat perang Revolusi. Ia menjabat staf perwira pada Brigade III Divisi Siliwangi. Pada masa ini dia juga pernah menajdi ajudan Jenderal Urip Sumohardjo. Setelahnya, menjabat Komandan Polisi Militer Daerah Jawa, menggantikan Gatot Soebroto selang tahun 1948-1950.
Tahun 1949, ketika terjadi penyerahan kekuasaan dari Belanda ke Republik Indonesia, Mokoginta dipiliih sebagai perwira yg bertanggung jawab atas Daerah Teritorial Indonesia Timur. Penyerahan dilakukan secara langsung oleh kolonel Schootborg, seorang perwira KNIL.
Pada tanggal 20 Juni 1950 dibentuk tujuh Territoriun di seluruh Indinesia. Territoium VII berkedudukan di Makassar, dibawah Panglima Letkol Achmad Yunus Mokoginta. Teritorium VII/Indonesia Timur membawahi wilayah Sulawesi dan Maluku ini, merupakan cikal bakal lahirnya Kodam VII/Wirabuana.
Pada Agustus 1950 istilah Teritorium VII diubah menjadi Tentara dan Teritorium (TT) VII. Disitu, Letjend A.Y. Mokoginta menyerahkan tongkat Komando kepada komandan baru ke A.E. Kawilarang.
Dalam sejarah Indonesia pasca Revolusi (1945-1950) Ia layak disebut ‘Orang Nomor Dua’ setelah Nasution. Sebagai Alumni Akademi Militer Breda di Bandung (1941), dirinya pernah dipercayakan menjadi Komandan SSKAD pertama selang tahun 1951-1953, yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan SESKOAD.
Selain itu, Letjen A.Y Mokoginta pun pernah dipercayakan menjadi ketua tim Panitia Doktrin Angkatan Darat.
Sebuah tim yang merumuskan ideologi TNI dalam rangka menghadapi inflitrasi kekuatan asing dan ganghuan dari dalam negeri.
Bersama dengan Kolonel Soewarto, mereka menggodok SESKOAD sebagai lembaga yg mencetak perwira-perwira modern Indonesia.
Dirinya pun pernah menjadi Ketua Tim Perumus Kurikulum Pendidikan di Akademi Militer Magelang. Bersama teman seangkatannya adalah Jendral A.H. Nasution, T.B. Simatupang, Alex Kawilarang, GPH. Djatikusumo, Askari, Abdul Kadir, Rachmat Kartakusuma, Samsudarso pernah terlibat dalam aksi-aksi militer menghadapi agresi militer II Belanda di Jogjakarta.
Di antara karib militer seangkatannya hanya Mokoginta yang perjalanan hidupnya belum ditulis, ia seolah terlupakan sejarah. Sayang memang, padahal Mokoginta sendiri pernah menjadi ketua Tim Penyusunan Sejarah TNI di tahun 1964.
Buku “Sedjarah singkat perdjuangan bersendjata bangsa Indonesia” terbitan Pusat Sedjarah Militer AD, di edit langsung oleh Mokoginta.
Buku ini sangat besar artinya dalam sejarah Indonesia, setiap kajian serius tentang sejarah militer, pasti menyebut dan mengutip buku itu.Tidak dapat dipungkiri, sebab tujuan buku ini dibuat sebagai salah satu langkah dalam rangka mengimbangi gerakan PKI yang telah menguasai Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, dengan menerbitkan buku-buku yang berpespektif kiri.
Kesetiaannya terhadap negara ini tidak lagi dapat dipungkiri, mengambil jalan yang istiqomah, dan akhirnya harus berseberangan dengan A.E. Kawilarang, sahabat sengkatannya, melawan komunisme, dengan cara lurus, meski dirinya sendiri harus terpinggirkan.
SSKAD atau SESKOAD adalah think-thank Angkatan Darat, tempat menggodok calon perwira berpandangan maju.Sebagian karier militer Mokoginta diabdikan untuk mencetak kader-kader militer yang berwatak. Mokoginta merupakan tipe seorang angkatan militer yang intelektual sekaligus pejuang di medan pertempuran. Konsep dirinya sehaluan dengan Kolonel Soewarto (meninggal 1967), orang yang paling berperan di Seskoad disamping Mokoginta, tokoh militer yang juga nyaris terlupakan.
Mokoginta merupakan seorang militer yang mengembangkan Pusat Dokumentasi dan Sejarah TNI. Dirinya pun seorang Jendral lapangan yang berperan penting ketika dipercayakan menjabat sebagai Panglima Mandala I Sumatera selang tahun 1964-1967.
Dia merupakan seorang tentara tentara yang loyal kepada Soekarno. Di masa-masa inilah Mokoginta bergulat dalam kemelut suasana kekuasaan yang penuh konspirasi, hingga tidak terasa menjauhkan dirinya dari dunia militer yang telah 27 tahun digelutinya.
Pasca Tragedi 1965, sebagai Jenderal yang loyal kepada Presiden Soekarno dan anti Komunis oleh Rezim Soeharto, A.Y. Mokoginta seolah dibuang, dengan menjadikannya sebagai Duta Besar RI di Mesir sekitar bulan Maret 1967 hingga Desember 1970.
Kakak Yunus Mokoginta, Khadijah Lena Mokoginta, adalah isteri dari KPN (Kepala Polisi Negara) Pertama R.I., Jenderal Polisi R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (1945-1959). Khadijah Lena Mokoginta termasuk salah satu deklarator Sumpah Pemuda 1928. R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (baca: Kapolri 1945-1959), adalah anggota Rosicrucians dan Freemasons hingga mencapai ‘maqom’ Grand Master ‘Suhu Agung’ Freemasonry Indonesia (semacam Kardinal dlm struktur hierarki gereja Khatolik, atau Mursyid dalam tarekat Islam). Organisasi yg dibubarkan Soekarno pada tahun 1959 dalam suasana politik anti Barat.
Pasangan Khadijah Lena Mokoginta dan R.S. Soekanto tidak dikaruniai anak.Namun mereka mengasuh anak-anak dari keluarganya yang berasal dari Bolaang Mongondow dan Surakarta.
Salah satu anak asuh Beliau adalah Nuning Sri Nugrahaningsih, anak RM. Panji Trisirah, kerabat Soekanto dari Solo yang dinikahkan dengan RM. Sawito Kartowibowo, tokoh “Ratu Adil” yg pernah menggegerkan jagad politik Indonesia pada tahun 70-an, yang dituduh oleh rezim Soeharto melakukan tindakan subversi karena mendapat wangsit dalam semedi di puncak gunung Muria: bahwa kehidupan Negara perlu diperbaaiki, yang di tahun 1976 ia diadili dan dihukum 8 tahun penjara.
Sumber: “Suharto and his generals : Indonesian military politics, 1975-1983” by Jenkins, David (1984), Cornel Modern Indonesian Project.
(*)