Keringat Perjuangan Pendidik di Pelosok Negeri Bogani

Keringat Perjuangan Pendidik di Pelosok Negeri Bogani
BOLMONG – Rasa penasaran tentang pengabdian guru daerah pelosok di era 75 tahun Indonesia merdeka menuntunku pada seorang narasumber. Lewat seorang kawan, aku berusaha mengatur waktu agar pertemuan kami segera berlangsung.

Walaupun sedang berada di Lolak, aku tetap harus lihai membagi waktu mengingat ada beberapa agenda liputan yang tak bisa dilewatkan hari itu. Belum lagi aku harus segera kembali ke Kotamobagu dan berpacu dengan deadline.

Dengan perhitungan waktu yang agak kacau, sore itu pukul empat, aku tiba di depan rumah seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Cuaca berawan cukup meneduhkan. Maklumlah, karena mengendarai sepeda motor, kulitku sudah cukup gosong dipanggang terik matahari seharian di Lolak.

Setelah mengucap salam dan dipersilakan duduk, segera aku memperkenalkan diri serta mengutarakan maksud kedatangan. Beruntung tak ada gelagat penolakan dari bahasa tubuh calon narasumberku itu.

Perekam suara di tangan kanan telah siap. Pertanyaan yang sedari tadi telah tersusun dalam kepala mulai mengalir. Kami segera berbincang.

Dian Praharsini Abdullah, dara cantik asal Mongkoinit, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) yang memilih untuk menjadi pengabdi negeri demi mencerdaskan kehidupan bangsa ini harus menerima kenyataan bahwa niat tulusnya menghadapi banyak ujian.

Perempuan 27 tahun ini adalah guru di SD Negeri Kolingangaan yang terletak puluhan kilometer dari desanya—69 KM menurut Google Maps. Seakan tak cukup dengan ujian jarak, Dian sapaan akrabnya kembali dihadapkan pada kenyataan bahwa sekolah itu berada di salah satu desa pelosok negeri Bogani; desa Kolingangaan, Kecamatan Bilalang.

Dia telah satu setengah tahun mengabdi sebagai guru di Kolingangaan, setelah sebelumnya berhasil lulus perengkingan dalam rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kabupaten Bolmong.

Saat pengumuman kelulusan telah dirilis, dia bahkan tak tahu di mana letak desa Kolingangaan. “Awalnya saya kira Kolingangaan itu di wilayah Dumoga,” ujarnya sambil tersipu.

Tantangan tampak begitu banyak, tapi Dian tak pernah mengendurkan semangatnya untuk segera melihat sekolah yang nanti akan menjadi rumah keduanya, rumah di mana dia akan mendidik para pemegang tongkat estafet di masa yang akan datang. “Pertama saya meninjau lokasi bersama Kepsek dan beberapa guru lainnya serta ibu juga,” kenang Dian sambil memperbaiki posisi duduknya.

Dia tak sabar untuk segera menapak di Kolingangaan. Namun, sebelum itu terjadi, Dian terlebih dahulu harus melewati jalan terjal berliku. Ini bukan metafora, jalan terjal berliku adalah santapan mata saat tiba di jalan tanah berbatu, akses utama ke desa di dataran tinggi itu.

Dia mengaku tak berani bila harus berangkat sendiri ke sana, mengingat akses jalan ke Kolingangaan berada di tengah hutan rimba. Sejak dia meninjau lokasi hingga kunjungan terakhirnya pada Juli lalu, dia selalu ditemani sosok ibu di sampingnya sebab suami tercintanya juga merupakan guru yang bertugas di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan sehingga tak sempat menemani. “Ibu selalu menemani saya ke sana,” ucapnya di sore yang berawan itu.

Perjalanan penuh tantangan adalah hal pertama yang disebutnya. Tampaknya, bagi Dian, jalan menanjak, menurun dan menikung serta jejeran lubang di medan tanah berbatu sepanjang sembilan kilometer itu adalah hal yang mustahil dilupakan. Keadaan diperparah dengan belum adanya angkutan penumpang jalur Kolingangaan. Mobil-mobil jenis pick up yang ditemui di sana, umumnya adalah mobil pemuat kayu olahan masyarakat.

Perjalanan jauh dan penuh tantangan itu mengharuskannya mempersiapkan diri matang-matang, dan keberangkatannya pun harus lebih awal. Dian harus berangkat hari Minggu agar keesokan harinya tidak terlambat ke sekolah. Biasanya mereka melakukan perjalanan seperti itu hampir setiap pekan, pulang hari Jumat atau Sabtu dan berangkat di hari Minggu.

Pertama kali berangkat dia sempat ketakutan karena melewati jalan dengan medan seperti itu. Ada saat-saat di mana dia harus turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki karena mobil tak sanggup lagi menanjak. “Itu biasanya terjadi saat hujan yang mengakibatkan jalannya jadi berlumpur,” ujar Dian sambil menyeka keringat di wajahnya.

Ketika pulang, orang-orang yang akan menumpang mobil harus rela duduk di atas tumpukan kayu. Bagi dia dan ibunya hal seperti itu adalah pengalaman pertama. “Kalau pulang kita harus duduk di atas kayu,” imbuhnya.

Dengan kondisi demikian, dia bahkan sempat beberapa kali mengalami sakit kepala ringan karena duduk di mobil terbuka saat matahari sedang terik.

Di Kolingaan, mereka tinggal di rumah seorang perangkat desa yang kebetulan kosong. Dian hanya tinggal bersama ibunya di rumah itu, dan sesekali ditemani oleh teman sesama guru dari sekolah yang sama.

Hari-hari dijalani dengan rutinitas yang relatif sama dengan kehidupan di desa asalnya. Hanya bedanya, di Kolingangaan dia masih harus menempuh berkilometer untuk sekedar mendapat jaringan seluler. Begitu pula dengan ketersediaan air yang harus diambil langsung dari mata airnya, sekitar seratus meter dari rumah yang mereka tinggali. Dia juga kerap kesulitan beradaptasi dengan suhu dingin yang serasa menusuk tulang, terlebih saat hujan melanda. Sungguh hari-hari yang berat bagi dua wanita pemberani.

Waktu terus berlalu, Dian tetap tegar dan ikhlas menjalani profesinya dalam mendidik putra-putri ibu pertiwi sebagai guru kelas 3. Jumlah murid yang sedikit sama sekali tidak melunturkan niat mulianya. “Jumlah siswa kelas 3 hanya empat orang,” ujar Dian yang juga sempat merangkap operator dan bendahara sekolah tersebut.


Sekolah tempatnya mengabdi itu berdiri sebatang kara di atas sebuah tanah lapang, dan penampakan bangunannya pun sudah cukup usang. Mereka hanya memiliki tiga bilik yang masing-masing biliknya dibagi menjadi dua ruang kelas dengan total 30 orang siswa, di mana pihak sekolah pun beberapa kali harus mengunjungi siswa di rumah untuk membujuk agar mereka kembali bersekolah. Minimnya sarana pendidikan di sekolah itu juga terlihat dari masih dipakainya papan tulis dan kapur—hal yang sudah lama ditinggalkan oleh sekolah-sekolah di kota.

Dian yang saat ini tengah mengandung tujuh bulan, sudah tak lagi menetap di Kolingangaan sejak sekolah-sekolah mulai diliburkan akibat pandemi Covid-19. “Sejak adanya Covid-19, kita sudah tidak menetap di sana, hanya datang dan langsung pulang,” ujarnya yang sedari terus bercerita mengenai kesan-kesannya di sana.

Kerinduan yang mendalam terhadap anak didik, tak ia pungkiri sedikitpun. Dia terus bercerita mengenai pengalaman yang dialami dengan muridnya. “Kalau di sekolah, yang saya paling ingat adalah murid-murid sering datang dengan menggunakan sandal jepit karena sepatunya sudah rusak atau basah akibat hujan,” kenangnya.

Hubungan mereka tidak hanya terbangun di dalam sekolah saja. Bahkan, di luar sekolah mereka sudah seperti bagian dari keluarga. “Waktu masih tinggal di sana, anak-anak sering bermain ke rumah, bahkan ada yang sampai berhari-hari baru pulang karena saat bersamaan orang tuanya berangkat ke kebun,” ujarnya.

Dian yang sebentar lagi akan melahirkan anak pertamanya, harus rela menanggung rindunya lebih lama lagi. “Dalam waktu dekat saya akan segera mengajukan cuti,” ucapnya seraya menutup pembicaraan kami pada sore yang akan segera hujan itu.

Aku yang beberapa hari sebelumnya sempat berkunjung ke Kolingangaan, dapat merasakan betul betapa hari-hari yang dilewatinya sebagai pendidik di pelosok negeri merupakan bentuk nyata dari sebuah perjuangan. Bahkan, untuk sekedar berdiri tegap di depan pintu kelasnya, Dian harus berusaha jauh lebih keras dibanding teman seprofesinya di tempat lain.

Sungguh, perjuangan adalah syarat utama dalam meraih cita-cita kemerdekaan.

Penulis : Indra Umbola

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.