KONFLIK ‘KHILAFIYAH’ ORMAS DAN PERAN MUI GORONTALO


Oleh : Ust. Husni Idrus, Lc, M.S.I, CDAI
(Dosen IAIN Gorontalo dan Ketua I MUI Kab Bone Bolango)

 

Gorontalo Dan Tingginya Suhu Khilafiyah
Gorontalo dikenal sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, penduduk Gorontalo yang beragama Islam sebanyak 1,18 juta jiwa pada Juni 2021. Jumlah itu setara dengan 98,02% dari total populasinya yang mencapai 1,2 juta jiwa.

Dengan persentasi itu daerah ini menjadikan Islam sebagai “falsafah kehidupan” dan norma yang mengikat bagi setiap penduduknya. Penulis dalam buku “Membumikan Islam dalam Tradisi Gorontalo” menyebutkan bahwa Gorontalo mendefiniskan dirinya sebagai daerah adat di Indonesia dengan falsafah adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah, yang memberikan pesan penting bahwa adat dan agama di Gorontalo dua hal yang tidak terpisahkan satu dan lainnya.

Keduanya berjalan selaras, serasi dan seimbang dalam dinamika kehidupan sosial keagamaan masyarakat Gorontalo. Adat tampil sebagai etika kemanusiaan sementara agama hadir sebagai etika spiritual. Sementara itu oleh Basri Amin dalam bukunya “Memori Gorontalo Teritori, Transisi dan Tradisi” menyebutkan hasil penelitian Van Vollenhoven ahli hukum adat menempatkan daerah Gorontalo pada urutan ke 9 dalam daftar daerah adat (19 daerah ) di Indonesia.

Dalam perkembangannya kehidupan sosial keagamaan masyarakat muslim di Gorontalo sangat variatif dan produktif mengikuti perkembangan zaman dan lajunya arus informasi digital saat ini. Tercatat bahwa begitu banyak model masyarakat muslim di daerah ini yang memiliki afiliasi keyakinan dan pemahaman tertentu dalam bentuk ormas dan pergerakan di Indonesia. Organisasi masyarakat yang menonjol itu di antaranya NU, Muhamadiyah, Sarekat Islam, PERSIS dan Wahdah Islamiyah. Untuk memperkuat dakwah mereka, media sosial pun menjadi alat yang mudah untuk mensosialisasikan pemikiran dan gerakan mereka.

Dalam realitasnya Ormas-ormas ini, memiliki perbedaan pandangan pada persoalan furuiyyat (persoalan cabang) dalam kajian keislaman, namun di saat bersamaan mampu bergandengan tangan dan duduk bersama dalam persoalan ushuliyyat ( pokok-pokok dan prinsip ajaran Islam). Sementara itu, sejatinya perbedaan pada pesoalan khilafiyah adalah sesuatu yang tidak boleh dipungkiri menjadi sebab utama perselisihan dan perpecahan umat. Al-Qaradhawi dalam kitab “Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Turats” menyebutkan bahwa perbedaan adalah dharurah fil hayyat (sebuah keniscayaan dalam hidup).

Lebih dari itu, dalam konteks khilafiyah Al-Qaradhawi mengatakan khilfiyah bukanlah keniscayaan dalam agama saja (dharurah diniyyah,) tapi juga dalam konteks bahasa (dharurah lughawiyah), sosial kemanusiaan (dharurah basyariyah ) dan kehidupan manusia (dharurah kauniyah). Hanya saja dimensi perbedaan ini terkadang memunculkan kondisi negatif dari masing-masing Ormas. Kondisi psikologi sebagian mereka ini terlihat dari beberapa indikator, di antaranya :Pertama lahirnya spekulasi keilmuan yang oleh Al-Qaradhawi meneyebutnya dengan almutafaqqih fiddin (orang yang pura-pura berilmu dan berani berfatwa). Kedua subjektifitas diri, yang oleh Muhammad Imarah menyebutnya dengan naz’ah nafsiyyah. Ketiga klaim kebenaran sepihak yang oleh Ahli Fiqh menyebutnya dengan al idda’at. Keempat otoritas dan pengakuan diri berlebihan yang oleh Syaikh Abdul Aziz Nasir menyebutnya dengan al ifrath wat tafrith. Kelima membangun sekat dinding pemisah antar satu dan lainnya, sampai pada yang Keenam kecenderungan untuk menghukumi orang lain sebagai “kafir” dan “murtad” (takfirisme). Kondisi ini telah berlangsung lama dan sedikitnya telah memakan korban sosial, merusak tatanan masyarakat dan silaturahim antar kelompok.

Di antara konflik yang sering terjadi antar ormas di Gorontalo adalah : Pertama persoalan klasik, jumlah rakaat salat tarawih, yang berujung pada pendirian masjid baru pada salah satu ormas. Kedua konflik seputar kode etik masjid dan perbedaan pada penentuan awal bulan dengan metode Hisab dan Rukyah yang berujung pada saling merasa paling benar. Ketiga konflik seputar menggambungkan Islam dan tradisi antara yang menerima bersyarat dan menolak tanpa syarat. Keempat konflik antar kelompok tariqah seputar konsep nur muhammad, tawassul, zikir jahar dan sir yang berujung pada merasa diri paling dekat dengan Tuhan atau sok suci. Keenam konflik seputar tahlilan dan qunut dan seterusnya. Perbedaan pandangan ini jika terus terjadi maka yang sangat dikhawatirkan adalah perpecahan kelompok dan rusaknya nila-nilai kemanusiaan.

Tugas MUI

Mejelis Ulama Indonesia sebagaimana diketahui sebagai mitra pemerintah yang secara spesifik memberikan pelayanan pada kebutuhan umat. Membimbing, mengarahkan dan mengayomi seluruh masyarakat Indonesia. Lembaga ini disamping berfungsi sebagai wadah (fasilitator) juga sebagai wahdah (pemersatu) semua elemen bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prof. KH. Ma’ruf Amin dalam sambutannya pada pelantikan pengurus MUI Provinsi Gorontalo mengatakan bahwa, MUI dalam tugasnya sebagai mitra pemerintah memiliki 3 peran dan misi utama: Pertama himayatul ummah ( melindungi umat ), Kedua khadimul ummah (berkhidmat kepada umat) dan ketiga shadiqul hukumah (mitra pemerintah) . Ketiga misi ini kemudian direalisasikan dalam bentuk pelayanan dan pemenuhan kebutuhan keumatan di negeri ini melalui penerbitan fatwa, sosialisasi aturan keagamaan yang bertujuan menjaga keutuhan, keragaman dan persatuan bangsa Indonesia. Bagi MUI perbedaan adalah hal yang normatif, alamiyah dan fitrah akan tetapi persatuan sebagai harga mati yang wajib diprioritaskan di atas semua kepentingan pribadi dan kelompok.

Di samping 3 peran dan visi MUI di atas juga yang paling penting adalah MUI dalam rangka menjaga keragaman dan persatuan bangsa menyerukan pemahaman Islam Wasatiyah yang memiliki prinsip tawasuth, tasamuh, tawazun, syura, tatawwur dan tahaddur . Dalam buku “Islam Wasatiyah” Tim Komisi Dakwah MUI Pusat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tawasuth adalah mengambil jalan tengah maksudnya adalah suatu pemahaman dan pengamalan yang tidak berlebih-lebihan dalam beragama. Tasamuh yang berarti toleransi yaitu sikap mengakui dan menghormati perbedaan baik dalam aspek keagamaan dan aspek kehidupan lainnya. Tidak bersifat diskriminatif pada orang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang. Tawazun dalam arti berkeseimbangan yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang meliouti semua aspek kehidupan. Syura yang berarti musyawarah dimana setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah. Tathawwur wa Ibtikar yang berarti dinamis dan inovatif dan terkakhir Tahaddhur yang berarti berkeadaban yaitu menjunjung tinggi akhlak mulia.

Peran MUI Gorontalo

Majelis Ulama Indonesia Provinsi Gorontalo menyikapi persoalan khilafiah antar ormas berusaha menjadi mitra pemerintah dan fasilitator umat yang berfungsi merekat persaudaraan dan meneguhkan kembali prinsip toleransi dengan semangat keragaman Bineka Tunggal Ika. Banyak hal yang sudah diupayakan secara maksimal, tidak sedikitpun hasil yang telah dicapai melalui program Komisi Dakwah dan Ukhuwah. Program-program itu berfokus pada nilai-nilai kebangsaan, kebinekaan dan kemanusiaan. Di antara program MUI yang sudah dilaksanakn itu adalah :
Dialog Keumatan
Melaui program ini MUI Gorontalo bersinergi dengan semua ormas di Gorontalo untuk bisa silaturahim, shering ide, diskusi fokus memberikan solusi atas problem keumatan yang sedang terjadi. Program ini di samping berhasil menyatukan bersama ormas yang berbeda dari sisi pemahaman keagamaan (khilafiyah) juga menjadi moment saling menghargai, saling betenggang rasa dan merasakan nilai persaudaraan yang tinggi. Tema dialog pun diatur disesuaikan dengan konteks persatuan dan toleransi.
Temu Dai
Tidak semua anggota dalam sebuah ormas adalah Dai. Dai adalah sosok yang selalu di perhitungkan dalam sebuah ormas. Biasanya Dai adalah juru bicaranya ormas. Dari lisannya terbaca paham yang diaanutnya, mazhab yang diikutinya, organisasi dia bekerja, dan kecenderungan yang diminatinya. Dai berpotensi subjektif dalam menilai sesuatu tanpa melihat kondisi audiens (mad’u) yang mendengarkannya. Cela ini kemudian menyisakan keresahan pada kelompok lain yang berbeda dengannya, silaturahim pun bubar hanya karena perbedaan cara berfikir. Dalam rangka menghilangkan sekat ini MUI Gorontalo memiliki program pemersatu dai yang diramu dalam kegiatan “Temu Dai”. Kegiatan ini terasa memberikan angin segar, sangat kental dengan nilai persatuan dan toleransi antar ormas.
Pekan Muharram
Pada pelasanaanya program “Pekan Muharram” dilakukan rutin setiap tahun, tepat berada di bulan Muharram. Dalam konteks masyarakat Gorontalo muharram dinilai sebagai bulan mulia, yang tidak sekedar diperingati secara formal dalam bentuk peringatan hari Asyura atau puasa muharram, tapi juga Muharram bagi masyarakat Gorontalo diresmikan sebagai moment persaudaran semua kalangan masyarakat. Saat bulan Muharram tiba, semua masyarakat muslim berkumpul di masjid-masjid dan musahalla mendengarkan ceramah dan tausiyah. Masing-masing dengan cara mereka sendiri-sendiri, tidak ketinggalan para ormas islam. Oleh MUI Gorontalo menginginkan ada satu moment yang menyatukan semua kalangan dan seluruh ormas dalam semangat ukhuwah. Kegiatan Pekan Muharram MUI Gorontalo menghadirkan suasana kekerabatan ormas dan menabah marwah persaudaraan.
Ifthar Jama’i Dan Tarawih Bersama
Di antara keunikan bulan Ramadhan adalah kebersamaan saat berbuka puasa. Kondisi ini selalu menjadi pemandangan yang indah di ujung hari setiap ramadhan. Oleh MUI Gorontalo dalam rangka mendekatkan ukhuwah dan merajut persaudaran antar ormas melakukan program ifthar jama’i (buka puasa bersama) antar Ormas. Kegiatan ini dilaksanakan di semua MUI kabupaten kota se provinis Gorontalo. Kehadiran MUI Provinsi di setiap moment buka puasa bersama mengundang simpati dari semua Ormas untuk kembali bersatu dan menjaga kondisi perbedan yang terjadi.

Dengan 4 program di atas terlihat jelas pengaruh keberadaan MUI Provinsi Gorontalo sebagai wadah pemersatu bangsa yang tidak saja menghasilkan tokoh-tokoh pemersatu dari setiap ormas, tapi juga yang paling penting adalah kesadaran untuk saling bekerja sama, membangun persatuan, silaturahim yang lebih kuat. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Oleh Ketua MUI Provinsi Gorontalo KH Abdurahman Bahmid Lc, M.H.I. Menurutnya program “Silaturahim Ormas” yang diadakan oleh MUI Prov Gorontalo menghasilkan beberapa prestasi dan harapan bersama. Sekalipun standar penilaiannnya tidak dalam bentuk angka kuantitatif tapi minimal fakta sosialnya visi misi persatuan dan keragaman tercapai. Menurutnya program Komisi Dakwah dan Ukhuwah dalam bentuk Silaturahim Ormas menghasilkan beberapa indikator kebaikan. Pertama terjalinnya kerja sama yang baik antar ormas, hal ini dibuktikan dengan persentasi dan antusias kehadiran Ormas dalam setiap kegiatan MUI. Kedua berkurangnya sikap saling mendebat atau saling menyerang, hal ini dibuktikan dengan sikap saling menghormati satu dan lainnya dalam majelis ukhuwah atau di media sosial. Ketiga ketegangan semakin berkurang dengan dilibatkannya para elit ormas dengan program kegiatan ukhuwah yang mewajiban partisipasi silang. Sementera itu menurut Ketua Komisi Ukhuwah MUI Provinsi Goronntalo Ust. Helmi Adam Nento pemandangan yang sangat indah terlihat dari kerja sama dan saling menghargai ini terlihat pada moment ibadah bersama di saat bulan Ramadhan. Semua melaksankan salat tarawih 20 rakaat dengan formasi NU sebagai Imamnya, Muhamadiyah dan Wahdah Islamiyah sebagai penceramah dan begitu seterusnya. Suasana keakraban pun terkadang diselingi dengan humor dan candaan sebagai bumbu-bumbu ukhuwah.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.