Digitalisasi Penyelenggaraan Pemilu dan Kendala Struktural

Oleh : Fanly Solang *

INDONESIA merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Setelah mengalami otoritarianisme selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, reformasi pada 1998 telah membuka keran kebebasan politik yang jauh lebih baik dibanding sebelumnya.

Pemilu langsung pada 2004 merupakan pengalaman berharga untuk memajukan pelembagaan dalam proses penyelenggaraan Pemilu. Saat ini, salah satu proses kemajuan pelembagaan penyelenggaraan Pemilu adalah digitalisasi proses penyelenggaraan Pemilu.

Ketika arus digitalisasi kian pesat, proses Pemilu di Indonesia yang kompleks diakibatkan oleh faktor geografis dan populasi membutuhkan instrument efisiansi seperti penerapan digitalisasi penyelenggaraan Pemilu. Hal ini telah diterapkan oleh lembaga penyelenggaraan Pemilu seperti KPU dan Bawaslu.

KPU memiliki platform digital Sistem Informasi Pencalonan (SILON) yang akan memudahkan para peserta Pemilu untuk mendapat informasi dan akses pendaftaran. Selain itu, KPU juga memiliki platform digital Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) yang digunakan untuk mengimput berbagai data partai politik yang disyaratkan oleh undang-undang.

Sedangkan Bawaslu memiliki platform digital Sistem Informasi Penanganan Pelanggaran dan Pelaporan (SIGAP Lapor) untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam proses pengawasan yang partisipatif.

Pelembagaan digitalisasi penyelenggaraan Pemilu berbasis platform digital terus dicanangkan oleh lembaga penyelenggara Pemilu. Inovasi seperti kemungkinan melakukan penyelenggaraan Pemilu dengan sistem e-voting masih menjadi program yang terus disempurnakan agar bisa dilakukan tanpa kendala yang berarti.

Akan tetapi, apakah proses digitalisasi penyelenggaraan Pemlu dengan demikian akan menghapus kendala-kendala struktural dalam proses kepemiluan kedepan? Pada faktanya, kendala-kendala struktural seperti politik uang, penyelenggara pemilu yang tidak netral, patronase, hingga manipulasi data pemilih masih tetap terjadi dalam setiap tahapan Pemilu.

Hal ini karena keterbatasan sistem kepemiluan berbasis platform digital untuk dapat mencakup ragam penyelewengan dalam tahapan Pemilu. Misalnya saja adalah penggunaan SIPOL oleh partai politik. Dalam hal ini, tidak jarang ditemukan partai politik meminta identitas masyarakat seperti KTP tanpa member tahu maksud dan tujuannya. Mereka memasukannya kedalam SIPOL sebagai pendukung calon.

Akan tetapi, secanggih apapun, SIPOL tidak memiliki vitur yang dapat memverifikasi terlebih dahulu keabsahaan dan persetujuan masyarakat sebagai pendukungnya. Akibatnya, ketika dalam tahapan verifikasi faktual partai politik, penyelenggara masih harus mengkonfirmasi kembali kepada masyarakat yang datanya dimasukan dalam SIPOL tanpa persetujuan. Akibatnya, alih-alih terjadi efisiensi, yang ada justru inefisiensi.

Selain itu adalah penggunaan SIGAP Lapor Bawaslu yang pada kenyataannya belum mampu memproses laporan yang jumlahnya signifikan. Hal ini disebabkan oleh proses pelaporan dalam platform tersebut harus mengikuti regulasi yang ada, seperti bukti dan saksi.

Kebanyakan pelanggaran pemilu terjadi dalam momen yang cepat dan singkat. Sedangkan mengumpukan bukti dan saksi membutuhkan upaya lebih dan berbagai kendala yang sering muncul. Akibatnya, pelaporan di SIGAP Lapor belum tentu akan direspon dengan cepat apabila tidak terpenuhinya syarat-syarat demikian. Selain itu kendala seperti kurangnya informasi dimasyarakat mengenai pelaporan bebasisi platform juga menjadi kendala akibat kurangnya sosialisasi.

Hal lainnya adalah platform digital yang dimiliki lembaga penyelenggaraan Pemilu belum bisa mengatasi masalah lainnya seperti politik uang dan kecurangan, terutama saat hari pencoblosan. Hal-hal seperti ini tidak mudah diselesaikan secara teknokratik hanya dengan menyediakan platform digital semata, karena masalah ini lebih bersifat struktural, yaitu berkaitan dengan kepentingan dan kekuasaan para peserta pemilu. Akibatnya, diperlokan penyelesaian diluar cara digital untuk dapat mengatasinya secara lebih efektif.

Dengan demikian, pelembagaan digitalisasi dalam proses penyelenggaraan Pemilu belum mampu seutuhnya untuk dapat menyelesaikan kompleksitas masalah dalam proses Pemilu, terutama masalah-masalah yang sifatnya struktural, yaitu kepentingan dan pengaruh kekuasaan yang mempengaruhi proses Pemilu.

* Penulis Merupakan Mantan Ketua Senat FISIP UNSRAT tahun 2003 – 2005 dan Ketua GMNI Manado periode 2005 – 2007

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.