SULUT – Kabar tidak mengenakkan menyeruak dari megahnya bangunan Taman Budaya Sulut, setelah muncul isu rencana alih fungsi bangunan itu.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara berencana mengalihfungsikan Taman Budaya Sulut, bangunan bersejarah saksi perkembangan kebudayaan, menjadi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
Isu alih fungsi Taman Budaya Sulut ini kian kuat, setelah 1 Oktober 2025 lalu, sejumlah ASN dari BKAD melakukan pengukuran lahan di sekitar bangunan itu.
Seiring meningkatnya tekanan pembangunan dan maraknya orientasi keuntungan, kepentingan ekonomi jangka pendek kini perlahan tetapi pasti menggerus eksistensi tempat yang selama ini dikenal sebagai simbol peradaban daerah.
Seniman Sulut Angkat Suara
Tak pelak, hal ini memantik sorotan dan keprihatinan dari para seniman di Sulawesi Utara, dengan menggencarkan Tagar #KebudayaanMemanggil.
Para seniman yang tergabung dalam Gerakan Seniman Sulut (GERMAS) ini, berencana akan melakiukan aksi demonstrasi pada Kamis lusa.
Aldes Sambalao, perupa teater sebagai koodinator aksi menegaskan mereka tidak akan tinggal diam.
“Ini sudah di titik nadir. Taman Budaya adalah rumah kami. Sekarang, rumah itu hendak dihancurkan demi SPBU? Kami tidak tinggal diam!” tegas Aldes.
Aksi Solidaritas Seniman
Pertemuan elemen kebudayaan, akan terjadi pada aksi para seniman tersebut, puluhan simpul kesenian dan budaya menegaskan akan bergabung.
Tidak hanya seniman teater, tetapi juga para akademisi, penulis, hingga perupa turut menyatakan sikap.
Alfred Pontolondo, salah seorang perupa lukis, menegaskan kalau bangunan itu sebagai bagian dari laboratorium kreativitas.
“Taman Budaya Sulut bukan hanya tempat pentas. Ia adalah simbol jatidiri, tempat kontemplasi, dan ruang temu lintas generasi seniman,” ucapnya.
“Kalau ini dikorbankan, kita sedang menghapus jejak peradaban kita sendiri,” tambah Alfred lagi.
Puluhan Komunitas Turut Bergabung
Asosiasi Seni Tradisional Daerah Sulut (ASTD), Wale Teater, Sanggar Kreatif, Komunitas Torang, dan Forum Perupa Sulut memastikan akan ikut dalam aksi tersebut.
Selain itu, tidak kalah penting, Dewan Adat Talaud, Sanggar Seriwang-Sangihe, Aliansi Kabasaran Seluruh Indonesia (AKSI), serta Pusat Kajian Komunitas Adat dan Budaya Bahari juga bakal turut serta dalam aksi tersebut.
Sementara itu, tidak hanya mereka yang menunjukkan solidaritas.
Sanggar Seni Kitawaya, Sanggar Seni Manguni Wenang Kauneran, dan Sanggar Karangmantra turut memastikan keikutsertaan mereka dalam gerakan kebudayaan ini.
Tidak ketinggalan Sanggar Budaya Matambor, Sanggar Seni Senggighilang, Sanggar Seni Kalamatra, Asosiasi Seni Tari Sulut dan Teater Monibi.
Masih ada juga Persatuan Maengket dan Masamper Sulut, Batoe Toelis Kreatif, Kavirsigers Squad, Sanggar Tangkasi Bitung, bakal ikut serta.
Komunitas Budaya Tionghoa Sulut, ISBIMA, Teater Club Manado, Sanggar Seni Ma’sani Tomohon dan Teater Roda juga tidak ingin ketinggalan.
Termasuk pula Center for Alternative Policy, Komunitas Mapatik, TamangBae Lingkungan dan Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR) ikut bergabung.
Degradasi Perhatian Pemerintah Terhadap Kebudayaan
Prof. Dr. Fuad Hasan selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan meresmikan Taman Budaya Sulut pada tahun 1987 sebagai pusat kegiatan seni dan budaya di Sulawesi Utara.
Sempat mencapai puncak kejayaan di tahun 2016 sebagai tuan rumah Taman Budaya Nasional, bangunan itu, menjadi titik temu berbagai seni dan budaya.
Mirisnya, sejak 2017, tempat tersebut mulai terabaikan, bahkan tidak lagi berfungsi.
Parahnya, pembentukan Dinas Kebudayaan Sulut di tahun 2017, justru semakin mengkerdilkan peran Taman Budaya, yang hanya menjadi seksi kecil dalam instansi.
Seiring dihentikannya seluruh aktivitas di lokasi itu, serta berpindahnya personel ke Museum Negeri, kawasan Taman Budaya Sulut pun perlahan rusak dan kini dipenuhi ilalang.
Rumah kreativitas tersebut, terdegradasi menjadi simbol abai pemerintah terhadap kebudayaan.
Seniman Senior Jhon Piet Sondakh mengatakan kalau tanpa budaya, manusia bukan siapa-siapa.
“Jika seni dan budaya tak lagi diberi ruang, kita sedang membiarkan roh masyarakat ini tercerabut,” tukasnya.
Sementara itu, alih fungsi Gedung Kesenian Pingkan Matindas sebelumnya, semakin memperkuat keresahan para seniman dan budayawan di Sulawesi Utara.
(Junaidi Amra)












